Monday, June 18, 2012

Kisah Tamim ad-Daari Tentang Dajjal


Diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan sanadnya sampai kepada Amir bin Syurahbil asy-Sya’bi, bahwa dia meminta kepada Fathimah binti Qais untuk menyampaikan hadits yang dia dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Fathimah binti Qais menceritakan:
“Ketika aku selesai dari masa iddahku, aku mendengar mu’adzin untuk shalat jama’ah. Aku keluar menuju masjid, aku shalat di barisan para wanita, di belakang punggung-punggung kaum pria. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai shalat, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di mimbar dalam keadaan tersenyum, seraya berkata:
لِيَلْزَمْ كُلُّ إِنْسَانٍ مُصَلاَّهُ
Hendaklah setiap orang tetap di tempatnya!
Kemudian beliau berkata:
أَتَدْرُونَ لِمَ جَمَعْتُكُمْ؟
Tahukah kalian untuk apa aku kumpulkan kalian?
Mereka menjawab:
اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ
Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:
إِنِّي وَاللَّهِ مَا جَمَعْتُكُمْ لِرَغْبَةٍ وَلاَ لِرَهْبَةٍ وَلَكِنْ جَمَعْتُكُمْ ِلأَنَّ تَمِيمًا الدَّارِيَّ كَانَ رَجُلاً نَصْرَانِيًّا فَجَاءَ فَبَايَعَ وَأَسْلَمَ وَحَدَّثَنِي حَدِيثًا وَافَقَ الَّذِي كُنْتُ أُحَدِّثُكُمْ عَنْ مَسِيحِ الدَّجَّالِ حَدَّثَنِي أَنَّهُ رَكِبَ فِي سَفِينَةٍ بَحْرِيَّةٍ مَعَ ثَلاَثِينَ رَجُلاً مِنْ لَخْمٍ وَجُذَامَ فَلَعِبَ بِهِمُ الْمَوْجُ شَهْرًا فِي الْبَحْرِ ثُمَّ أَرْفَئُوا إِلَى جَزِيرَةٍ فِي الْبَحْرِ حَتَّى مَغْرِبِ الشَّمْسِ فَجَلَسُوا فِي أَقْرُبِ السَّفِينَةِ فَدَخَلُوا الْجَزِيرَةَ فَلَقِيَتْهُمْ دَابَّةٌ أَهْلَبُ كَثِيرُ الشَّعَرِ لاَ يَدْرُونَ مَا قُبُلُهُ مِنْ دُبُرِهِ مِنْ كَثْرَةِ الشَّعَرِ فَقَالُوا وَيْلَكِ مَا أَنْتِ فَقَالَتْ أَنَا الْجَسَّاسَةُ قَالُوا وَمَا الْجَسَّاسَةُ قَالَتْ أَيُّهَا الْقَوْمُ انْطَلِقُوا إِلَى هَذَا الرَّجُلِ فِي الدَّيْرِ فَإِنَّهُ إِلَى خَبَرِكُمْ بِالْأَشْوَاقِ قَالَ لَمَّا سَمَّتْ لَنَا رَجُلاً فَرِقْنَا مِنْهَا أَنْ تَكُونَ شَيْطَانَةً قَالَ فَانْطَلَقْنَا سِرَاعًا حَتَّى دَخَلْنَا الدَّيْرَ فَإِذَا فِيهِ أَعْظَمُ إِنْسَانٍ رَأَيْنَاهُ قَطُّ خَلْقًا وَأَشَدُّهُ وِثَاقًا مَجْمُوعَةٌ يَدَاهُ إِلَى عُنُقِهِ مَا بَيْنَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى كَعْبَيْهِ بِالْحَدِيدِ قُلْنَا وَيْلَكَ مَا أَنْتَ قَالَ قَدْ قَدَرْتُمْ عَلَى خَبَرِي فَأَخْبِرُونِي مَا أَنْتُمْ قَالُوا نَحْنُ أُنَاسٌ مِنَ الْعَرَبِ رَكِبْنَا فِي سَفِينَةٍ بَحْرِيَّةٍ فَصَادَفْنَا الْبَحْرَ حِينَ اغْتَلَمَ فَلَعِبَ بِنَا الْمَوْجُ شَهْرًا ثُمَّ أَرْفَأْنَا إِلَى جَزِيرَتِكَ هَذِهِ فَجَلَسْنَا فِي أَقْرُبِهَا فَدَخَلْنَا الْجَزِيرَةَ فَلَقِيَتْنَا دَابَّةٌ أَهْلَبُ كَثِيرُ الشَّعَرِ لاَ يُدْرَى مَا قُبُلُهُ مِنْ دُبُرِهِ مِنْ كَثْرَةِ الشَّعَرِ فَقُلْنَا وَيْلَكِ مَا أَنْتِ فَقَالَتْ أَنَا الْجَسَّاسَةُ قُلْنَا وَمَا الْجَسَّاسَةُ قَالَتِ اعْمِدُوا إِلَى هَذَا الرَّجُلِ فِي الدَّيْرِ فَإِنَّهُ إِلَى خَبَرِكُمْ بِاْلأَشْوَاقِ فَأَقْبَلْنَا إِلَيْكَ سِرَاعًا وَفَزِعْنَا مِنْهَا وَلَمْ نَأْمَنْ أَنْ تَكُونَ شَيْطَانَةً فَقَالَ أَخْبِرُونِي عَنْ نَخْلِ بَيْسَانَ قُلْنَا عَنْ أَيِّ شَأْنِهَا تَسْتَخْبِرُ قَالَ أَسْأَلُكُمْ عَنْ نَخْلِهَا هَلْ يُثْمِرُ قُلْنَا لَهُ نَعَمْ قَالَ أَمَا إِنَّهُ يُوشِكُ أَنْ لاَ تُثْمِرَ قَالَ أَخْبِرُونِي عَنْ بُحَيْرَةِ الطَّبَرِيَّةِ قُلْنَا عَنْ أَيِّ شَأْنِهَا تَسْتَخْبِرُ قَالَ هَلْ فِيهَا مَاءٌ قَالُوا هِيَ كَثِيرَةُ الْمَاءِ قَالَ أَمَا إِنَّ مَاءَهَا يُوشِكُ أَنْ يَذْهَبَ قَالَ أَخْبِرُونِي عَنْ عَيْنِ زُغَرَ قَالُوا عَنْ أَيِّ شَأْنِهَا تَسْتَخْبِرُ قَالَ هَلْ فِي الْعَيْنِ مَاءٌ وَهَلْ يَزْرَعُ أَهْلُهَا بِمَاءِ الْعَيْنِ قُلْنَا لَهُ نَعَمْ هِيَ كَثِيرَةُ الْمَاءِ وَأَهْلُهَا يَزْرَعُونَ مِنْ مَائِهَا قَالَ أَخْبِرُونِي عَنْ نَبِيِّ اْلأُمِّيِّينَ مَا فَعَلَ قَالُوا قَدْ خَرَجَ مِنْ مَكَّةَ وَنَزَلَ يَثْرِبَ قَالَ أَقَاتَلَهُ الْعَرَبُ قُلْنَا نَعَمْ قَالَ كَيْفَ صَنَعَ بِهِمْ فَأَخْبَرْنَاهُ أَنَّهُ قَدْ ظَهَرَ عَلَى مَنْ يَلِيهِ مِنَ الْعَرَبِ وَأَطَاعُوهُ قَالَ لَهُمْ قَدْ كَانَ ذَلِكَ قُلْنَا نَعَمْ قَالَ أَمَا إِنَّ ذَاكَ خَيْرٌ لَهُمْ أَنْ يُطِيعُوهُ وَإِنِّي مُخْبِرُكُمْ عَنِّي إِنِّي أَنَا الْمَسِيحُ وَإِنِّي أُوشِكُ أَنْ يُؤْذَنَ لِي فِي الْخُرُوجِ فَأَخْرُجَ فَأَسِيرَ فِي اْلأَرْضِ فَلاَ أَدَعَ قَرْيَةً إِلاَّ هَبَطْتُهَا فِي أَرْبَعِينَ لَيْلَةً غَيْرَ مَكَّةَ وَطَيْبَةَ فَهُمَا مُحَرَّمَتَانِ عَلَيَّ كِلْتَاهُمَا كُلَّمَا أَرَدْتُ أَنْ أَدْخُلَ وَاحِدَةً أَوْ وَاحِدًا مِنْهُمَا اسْتَقْبَلَنِي مَلَكٌ بِيَدِهِ السَّيْفُ صَلْتًا يَصُدُّنِي عَنْهَا وَإِنَّ عَلَى كُلِّ نَقْبٍ مِنْهَا مَلاَئِكَةً يَحْرُسُونَهَا.
Sungguh demi Allah, tidaklah aku mengumpulkan kalian karena satu kebutuhan atau menghindari sesuatu. Sesungguhnya aku mengumpulkan kalian karena Tamim ad-Dari -seorang Nashrani-telah datang berbaiat dan masuk Islam. Dia menghabarkan kepadaku satu berita yang mencocoki apa yang pernah aku sampaikan kepada kalian tentang al-Masih ad-Dajjal. Dia menyampaikan kepadaku bahwa dia mengarungi lautan di atas sebuah kapal bersama 30 orang dari suku Lakham dan Judzam. Kemudian mereka dipermainkan oleh gelombang lautan selama satu bulan hingga terdampar di sebuah pulau di tengah lautan sampai matahari terbenam. Mereka duduk di dekat kapalnya, kemudian memasuki pulau tersebut hingga bertemu dengan seekor binatang yang berambut lebat, tidak diketahui mana depan dan mana belakangnya karena panjang dan lebat bulunya. Mereka berkata: “Celaka engkau, makhluk apakah kau ini?” Tiba-tiba mahluk itu menjawab: “Aku adalah AL-JASSAASAH. Mereka bertanya lagi: “Apa itu Al-Jassaasah?” Mahluk itu berkata:“Pergilah kalian menemui orang yang berada di kuil itu, karena dia sangat menantikan berita dari kalian”.
Kami berkata: “Ketika kami mendengar disebutnya seseorang, maka muncullah ketakutan dalam diri kami kalau-kalau yang dihadapinya adalah setan. Kami segera pergi memasuki kuil tersebut. Dalam kuil itu kami dapati seorang yang sangat besar, bahkan manusia terbesar yang pernah kami lihat dalam keadaan terbelenggu. Kedua tangannya digabungkan dengan lehernya, dan di antara kedua lutut sampai mata kakinya terbelenggu dengan belenggu besi. Kami berkata: “Celaka engkau! Mahluk apakah engkau?” Dia menjawab: “Kalian telah ditakdirkan untuk mengetahui beritaku. Maka beritakanlah kepadaku siapa kalian?” Kami menjawab: “Kami adalah rombongan dari kalangan Arab yang mengarungi lautan di atas sebuah kapal, kemudian kami diterjang badai dan dipermainkan ombak sebulan lamanya, hingga terdampar di tempatmu ini. Kami duduk di dekat kapal kami, dan berjalan-jalan hingga bertemu dengan binatang berbulu lebat yang tidak dapat dikenali mana muka dan mana be-lakangnya. Kami pun bertanya: “Celaka engkau! makhluk apakah kau ini?” Tiba-tiba mahluk itu menjawab: “Aku adalah AL-JASSAASAH”. Mereka bertanya lagi: “Apa itu Al-Jassaasah?” Mahluk itu berkata: “Pergilah kalian menemui orang yang berada di kuil itu, karena dia sangat menantikan berita dari kalian”. Ketika kami mendengar disebutnya seseorang, maka muncullah ketakutan dalam diri kami kalau-kalau yang dihadapinya adalah setan. Maka kami segera menuju ke tempatmu”.
Orang yang terbelenggu tersebut berkata: “Kabarkanlah kepadaku tentang pohon-pohon kurma di Baisan!”
Kami katakan: “Tentang apanya yang kamu tanyakan?”
Ia menjawab: “Aku bertanya kepada kalian apakah pohon-pohon kurma itu sudah berbuah?”
Kami katakan kepadanya: “Sudah”.
Ia berkata: “Ketahuilah, bahwa sebentar lagi pohon-pohon itu tidak akan berbuah”.
Ia berkata lagi: “Kabarkan kepadaku tentang danau Thabariyah?”
Kami katakan: “Tentang apanya yang kamu tanyakan?”
Ia menjawab: “Aku bertanya kepada kalian apakah masih berair?”
Kami katakan: “Ya. Danau itu banyak air-nya”.
Ia berkata: “Ketahuilah, sebentar lagi dia akan kering”. 
Dia berkata: “Kabarkanlah kepadaku tentang mata air Zughar?”
Kami katakan: “Tentang apanya yang kamu tanyakan?”
Ia menjawab: “Apakah mata air itu masih berair dan apakah penduduknya masih bercocok tanam dengannya?”
Kami katakan: “Ya. Mata air itu masih berair dan penduduknya bercocok tanam dari air tersebut”.
Dia berkata: “Kabarkanlah kepadaku tentang nabinya orang-orang ummiy (yang tidak dapat membaca dan menulis –pent.), apa yang dilakukannya?”
Kami katakan: “Ia telah keluar dari Mekah menuju Yatsrib (Madinah)”.
Dia berkata: “Apakah orang-orang Arab memeranginya?”
Kami katakan: “Ya”.
Dia berkata: “Apa yang dilakukannya terhadap mereka?”
Kami kabarkan kepadanya bahwasanya nabi tersebut telah menang dan menguasai orang-orang Arab di sekitarnya, dan mereka mentaatinya.
Dia menyela: “Apakah sudah terjadi yang demikian?” 
Kami katakan: “Ya”.
Dia berkata: “Kalau mereka mau mentaatinya, sungguh lebih baik buat mereka,”.
Kemudian orang itu berkata: “Sekarang aku mengabarkan kepada kalian tentang diriku, aku adalah AL-MASIEH (Yakni al-Masieh ad-Dajjal, pent.). Dan sesungguhnya sebentar lagi akan diizinkan untuk keluar. Dan aku akan berjalan menelusuri bumi, tidak akan aku tinggalkan satu desa pun kecuali akan aku masuki dalam waktu 40 malam, selain Mekah dan Thayibah. Karena kedua tempat itu diharamkan atasku untuk memasukinya. Setiap aku akan memasuki salah satunya, maka aku dihadapi oleh malaikat-malaikat yang di tangannya terhunus pedang yang tajam menghalau aku dari tempat tersebut. Dan sesungguhnya di setiap celah dari keduanya ada malaikat yang menjaganya”.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda sambil menunjuk dengan tongkatnya ke tanah dari atas mimbar:
هَذِهِ طَيْبَةُ هَذِهِ طَيْبَةُ هَذِهِ طَيْبَةُ يَعْنِي الْمَدِينَةَ أَلاَ هَلْ كُنْتُ حَدَّثْتُكُمْ ذَلِكَ.
Inilah yang dimaksud Thayibah, inilah yang dimaksud Thayibah yakni al-Madinah. Bukankah aku pernah mengatakannya kepada kalian?
Maka manusia menjawab: “Ya”.
Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فَإِنَّهُ أَعْجَبَنِي حَدِيثُ تَمِيمٍ أَنَّهُ وَافَقَ الَّذِي كُنْتُ أُحَدِّثُكُمْ عَنْهُ وَعَنِ الْمَدِينَةِ وَمَكَّةَ أَلاَ إِنَّهُ فِي بَحْرِ الشَّأْمِ أَوْ بَحْرِ الْيَمَنِ لاَ بَلْ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ مَا هُوَ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ مَا هُوَ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ مَا هُوَ وَأَوْمَأَ بِيَدِهِ إِلَى الْمَشْرِقِ. رواه مسلم في صحيحه/كتاب الفتن ج 18 ص 282-284 مع شرح النووي
Sungguh sangat mengagumkan aku berita dari Tamim ad-Dari ini, sesungguhnya ia cocok dengan apa yang telah aku sampaikan kepada kalian tentang Madinah dan Mekah. Ketahuilah sesungguhnya dia (Dajjal) ada di laut Syam atau di laut Yaman. Tidak, bahkan di arah Masyriq, bahkan di arah Masyriq sambil mengisyaratkan dengan tangannya ke arah Masyriq. (Shahih Muslim/kitabul fitan wa asyrathu as-Sa’ah bab qishatul jassaasah, juz 18 hal. 282-284 dengan syarh Imam Nawawi).
Imam Qurthubi berkata: “Keraguan dan dzan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah disengaja untuk menyamarkan atas pendengar tentang tempatnya. Kemudian menyebutkan dengan tegas arahnya, yaitu dari arah Masyriq”. (Lihat Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, juz 11, hal. 318)
Dalam Fathul Wadud dikatakan: “Keraguan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bertujuan menyamarkan tempatnya kepada pendengar”. (Lihat Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, juz 11, hal. 319)




Bahaya Fitnah Dajjal
Diriwayatkat dari Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam pernah berbicara satu hadits yang panjang tentang Dajjal, di antaranya beliau bersabda:
…يَأْتِي الدَّجَّالُ وَهُوَ مُحَرَّمٌ عَلَيْهِ أَنْ يَدْخُلَ نِقَابَ الْمَدِينَةِ فَيَنْزِلُ بَعْضَ السِّبَاخِ الَّتِي تَلِي الْمَدِينَةَ فَيَخْرُجُ إِلَيْهِ يَوْمَئِذٍ رَجُلٌ وَهُوَ خَيْرُ النَّاسِ أَوْ مِنْ خِيَارِ النَّاسِ فَيَقُولُ أَشْهَدُ أَنَّكَ الدَّجَّالُ الَّذِي حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثَهُ فَيَقُولُ الدَّجَّالُ أَرَأَيْتُمْ إِنْ قَتَلْتُ هَذَا ثُمَّ أَحْيَيْتُهُ هَلْ تَشُكُّونَ فِي اْلأَمْرِ فَيَقُولُونَ لاَ فَيَقْتُلُهُ ثُمَّ يُحْيِيهِ فَيَقُولُ وَاللَّهِ مَا كُنْتُ فِيكَ أَشَدَّ بَصِيرَةً مِنِّي الْيَوْمَ فَيُرِيدُ الدَّجَّالُ أَنْ يَقْتُلَهُ فَلاَ يُسَلَّطُ عَلَيْهِ . رواه البخاري في صحيحه/كتاب الفتن 13/101 مع الفتح
Datang Dajjal dan dia terhalang untuk memasuki Madinah, maka dia singgah di pinggiran padang pasir bergaram yang berada di luar Madinah. Maka saat itu keluarlah seseorang laki-laki dari manusia terbaik yang ada di Madinah. Kemudian berkata kepadanya: “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Dajjal, yang dikabarkan kepada kami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Kemudian Dajjal berkata (kepada orang di sekitarnya):“Bagaimana pendapat kalian kalau aku membunuhnya, kemudian aku hidupkan kembali? Apakah kalian masih ragu terhadapku?”. Maka mereka berkata: “Tidak”. Maka Dajjal pun membunuhnya kemudian dihidupkannya kembali. Maka orang itu berkata:”Demi Allah aku sekarang lebih yakin dan tidak pernah aku lebih yakin dari hari ini bahwa engkau adalah Dajjal”. Maka Dajjal pun ingin membunuhnya, tapi ia tidak mampu. (HR. Bukhari dalam Shahih-nya/Kitabul Fitan, juz 13/101 –Fathul Bari)
وَإِنَّ مِنْ فِتْنَتِهِ أَنْ يَقُولَ ِلأَعْرَابِيٍّ أَرَأَيْتَ إِنْ بَعَثْتُ لَكَ أَبَاكَ وَأُمَّكَ أَتَشْهَدُ أَنِّي رَبُّكَ فَيَقُولُ نَعَمْ فَيَتَمَثَّلُ لَهُ شَيْطَانَانِ فِي صُورَةِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَقُولاَنِ يَا بُنَيَّ اتَّبِعْهُ فَإِنَّهُ رَبُّكَ. رواه ابن ماجه؛ وصححه الألباني في صحيح الجامع الصغير 6/273-277
Dan di antara fitnahnya Dajjal adalah: ia berkata kepada seorang Badui: “Bagaimana pendapatmu kalau aku membangkitkan ibu dan bapakmu? Apakah engkau percaya bahwa aku adalah tuhanmu?” Maka orang Badui tadi mengatakan: “Ya”. Maka bangkitlah dua setan dalam bentuk bapak dan ibunya, keduanya berkata: “Wahai anakku, ikutilah dia sesungguhnya dia adalah tuhanmu”. (HR. Ibnu Majah, Syaikh al-Albani menshahihkanya dalam Shahih Jami’ ash-Shaghir (6/273-277))
Wallahu a’lam


Penulis : Ustadz Muhammad Umar As-Sewed


sumber: http://adealam.wordpress.com

Friday, June 15, 2012

Pertaubatan Pemuda Yang Durhaka Kepada Ibunya

Ayahku meninggal saat aku masih kecil, lalu ibulah yang merawatku. Ia bekerja sebagai pembantu di rumah-rumah hingga dapat membiayaiku. Aku adalah anak tunggalnya. Ia memasukkan aku ke sekolah, dan aku belajar hingga menyelesaikan studi di universitas. Saat itu aku berbakti kepadanya. la datang untuk mengirimku ke luar negeri, dan ia melepaskan kepergianku dengan air mata sembari berkata kepadaku, “Ingatlah, wahai putraku, terhadap dirimu dan jangan memutus beritamu dariku. Berkirimlah surat kepadaku hingga aku merasa tentram dengan kesehatanmu.”

Aku menyelesaikan studiku setelah menempuh waktu yang panjang dan aku kembali ke tanah air sebagai pribadi lain yang telah terpengaruh dengan peradaban Barat. Aku melihat keterbelakangan dalam agama, dan aku menjadi tidak beriman kecuali dengan kehidupan materi – kita berlindung kepada Allah-.

Aku mendapatkan pekerjaan yang berkelas, dan aku mulai mencari istri hingga aku memperolehnya. Sebenarnya ibu telah memilihkan untukku searing gadis yang taat beragama lagi memelihara diri, tapi aku hanya mau menikah dengan wanita kaya lagi cantik itu karena aku mengimpikan kehidupan aristokrat.

Sekitar enam bulan sejak perkawinanku, istriku mernperdaya ibuku hingga aku mernbenci ibuku. Suatu hari, aku masuk rumah, dan ternyata istriku menangis, lalu aku bertanya kepadanya tentang sebabnya, maka ia menjawab, “Cukup sampai di sini aku dan ibumu berada di rumah ini. Aku tidak bisa bersabar terhadapnya lebih diri itu.”

Aku pun gelap mata, dan aku mengusir ibuku dark rumah pada saat marah. Ibu pun pergi dalam keadaan menangis sambil berkata, “Semoga Allah membahagiakanmu, wahai putraku.”

Lihatlah betapa besar dan belas kasihnya hati ibu. Kendatipun anak tunggalnya telah mengusirnya diri rumah secara zhalim dan melampaui batas, namun sang ibu tetap mendoakannya dengan kebahagiaan dalam hidup ini.

Penutur kisah melanjutkan, beberapa jam setelah itu, aku keluar untuk mencarinya, tapi tidak ada gunanya. Aku pun kembali ke rumah, cdn istriku, dengan makarnya dan kebodohanku, mampu melupakanku dari ibu yang berharga lagi utama itu.

Berita ibuku terputus dariku dalam satu masa. Dalam masa itu aku tertimpa penyakit yang menjijikan. Setelah itu, aku masuk rumah sakit, dan ibuku mengetahui berita itu lalu datang menjengukku. Saat itu istriku di sisiku. Sebelum menjengukku, ia diusir oleh istriku, dan mengatakan kepadanya, “Putramu tidak ada di sini. Apa yang engkau inginkan dari kami. Pergilah dari kami.”

Ibu pun pergi dari tempat kedatangannya. Aku keluar dari rumah sakit setelah waktu lama yang menyebabkan kondisi kejiwaanku berkurang. Aku kehilangan pekerjaan dan rumah serta utangku bertumpuk. Semua itu disebabkan istriku. Ia membebaniku dengan tuntutannya yang banyak. Pada akhirnya, istriku yang cantik itu menolak dan mengatakan, “Selama engkau telah kehilangan pekerjaan dan hartamu serta kedudukan di masyarakat tidak kembali lagi kepadamu, maka aku nyatakan dengan tegas kepadamu: Aku tidak menginginkanmu. Aku tidak menginginkanmu. Ceraikanlah aku.”

Kata-kata yang aku dengar darinya ini bak petir yang menyambar kepalaku. Aku pun langsung menceraikannya. Saat aku bangun dari tidur nyenyak yang biasa aku jalani, dan aku keluar dalam keadaan bersedih untuk mencari ibuku, yang pada akhirnya aku menemukannya… Tapi di mana aku menemukannya?!

Ia tinggal di salah satu Ribath. Ribath adalah tempat berkumpul orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal dan tidak memiliki orang yang mengurusi mereka. Mereka makan dan minum dari sedekah. Aku menemuinya, ternyata aku mendapatinya pucat karena tangisan. Begitu aku melihatnya, aku langsung menjatuhkan diri di dekat kakinya dan menangis dengan tangisan yang pahit. Tidak ada yang dilakukannya kecuali ikut menangis bersamaku. Kami tetap seperti ini sekitar satu jam penuh. Setelah itu, aku membawanya ke rumah, dan aku bersumpah pada diriku bahwa aku akan senantiasa mematuhinya. Sebelum itu, aku menaati perintah-Nya, menjauhi larangan-laranganNya.

kisahislam.net

Wednesday, June 13, 2012

Kisah Sedih Dari Makhluk Allah


Kisah ini merupakan kisah tauladan, sangat inspiratif dan mendidik.  Kami mengutipnya dari akun facebook milik Ukhti Jeanny Dive, semoga bermanfaat.
Bismillaahir rohmanir rohiim.  Assalamu'alaykum warohmatullahi wa barokaatuh.
Saudara-saudariku tercinta yang dirahmati oleh Allah ta'ala...
Sesungguhnya seluruh makhluk ciptaan Allah ta'ala itu, pasti akan dihimpun kembali oleh Allah pada 'yaumul qiyamah' nanti. Binatang, tumbuh-tumbuhan, hingga makhluk ghaib yang tidak tertangkap oleh indera kita sekali pun, juga merupakan makhluk-Nya yang berkaum-kaum dan umat sebagaimana kita selaku manusia. Untuk itu marilah kita saksikan firman Allah ta'ala yang menyebutkan perihal ini :
"Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Allah mereka dihimpunkan." (QS. Al-An'aam {6}:38).
Oleh karena mereka juga umat seperti kita, maka (semisal) binatang, tentu di antara mereka juga terdapat naluri rasa kasih dan sayang, serta saling mencintai di antara sesama jenis atau kaumnya. Begitu juga sebaliknya, bisa jadi mereka saling membenci bahkan saling membunuh! :'( Maka sebagai makhluk (sejenis) yang bersaudara, tentu saja kita ingin mengetahui "kesamaan" kita dengan binatang, dalam hal peranan cinta dan kasih sayang di antaranya.
Untuk itu duhai saudara-saudariku tersayang, saksikanlah adegan-adegan gambar berikut ini...
Tampak seekor burung betina terseok-seok di sebuah jalan raya. Bisa jadi ia sakit, sehingga tidak mampu mengepakkan sayapnya untuk terbang. "Ooh... kemanakah engkau mencari makanan wahai suamiku.." ucapnya lirih ~~~
"Istriku, maafkan aku telah membuatmu lama menungguku. Sekarang makanlah ini dulu, semoga dapat menguatkanmu, dan kamu dapat terbang agar kita segera pulang.." ajak sang suami kepada istrinya, dan berusaha menyuapi makanan yang di bawanya. Namun kondisi sang istri kian melemah, semakin lemah, lalu terbaring...
"Wahai istriku, mengapa engkau tak memakan makanan yang aku suapi? Dan mengapa pula engkau tidur di jalanan ini? Ayolah istriku, mari kita pulang..." Sang suami pun berusaha mengangkat tubuh istrinya yang sudah terkulai dan tidak bergerak lagi....
Mendapati istrinya yang sudah tidak bergerak dan terbujur kaku, barulah sang suami menyadari bahwa istrinya... telah mati!  "Istriku... bangunlah, bangunlah sayang... Jangan engkau tinggalkan aku seperti ini..." jerit sang suami...
"Yaa Allaah... hidupkanlah kembali istriku yaa Allah, hidupkanlah kembali yaa Allah... huu..huuu..." ratap sang suami memohon kepada Rabb-nya.
Namun akhirnya suami burung itu menyadari, bahwa pertemuan, jodoh, rezeki, dan maut merupakan kehendak dan ketentuan dari Allah subhanahu wa ta'ala. Maka sang suami pun akhirnya pasrah dan berdoa... "Yaa Allah, bila ini sudah menjadi ketentuanmu, maka aku ikhlas. Ampunilah kesalahan dan dosa yang pernah dilakukan oleh istriku, dan tempatkanlah ia di sisi-Mu yang terbaik. Yaa Allah, bila engkau mengizinkannya, pertemukan dan satukanlah kami kembali di Jannah-Mu. Sungguh aku mencintainya karena-Mu yaa Allah, maka dengarkanlah permohonanku ini. Inna lillaahi wa inna illaaihi rooji'uun..."
Wahai saudara-saudariku yang semestinya saling mencintai karena Allah...
Tidakkah engkau merasa malu ketika mendapati keberadaan suatu umat, dimana mereka sesungguhnya tidak memiliki akal, namun hanya dengan menggunakan nalurinya saja, mereka mampu bersaudara dan saling mencintai di antaranya...!?
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman : "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (dienul) Allah, janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." (QS. Ali Imran {3}:103).
Wahai hamba Allah yang semestinya bersaudara, hentikanlah permusuhan sesamamu. Jadikanlah perbedaan dan khilafiyah itu,sebagai rahmat yang memang ditakdirkan oleh Allah ta'ala untuk kita. Maka yakinlah wahai saudara-saudariku tersayang, bahwa Ukhuwah Islamiyah dan rapatnya barisan umat, merupakan KEMENANGAN Dien Islam yang sesungguhnya.
Yaa Allah, saksikanlah... ^_^,
Billaahi taufik wal hidayah,
Wassalamu'alaykum wr.wb.

Tuesday, June 12, 2012

Ya Allah dan Engkaulah Raja dari Segala Raja, aku berdiri disini, di pintumu untuk memohon pada-Mu agar mengambil jiwaku karena kerinduanku pada putera-puteraku dan suamiku


Ibunda para syuhada', kisah nan pilu (Sebuah kisah nyata dari seorang Ibu dari Iraq tentang Perang Falujjah kedua)

Saif Al Battar
Semoga Allah merahmati anak-anakmu wahai ibu..
Ummu Asy-Syuhada dan kenangannya tentang Falujjah…Akhirnya, sekelompok ***** bertemu dengan Hajjah “Z.M” yang telah dikenal sebagai ibunda para syuhada dikarenakan andilnya di perang Falujjah kedua.
Setelah menempuh waktu dua bulan pencarian… Tidak ada seorang pun yang tertinggal kecuali pasti kami tanyakan tentang UmmuAsy-Syuhadanamun jawaban yang kami dapatkan simpang siur. Ada yang mengatakania telah menghilang atau meninggal. Informasi lain menyebutkan ia telah pergi menuju sebuah perkampungan dipinggir Falujjah untuk melihat anak perempuannya.
Ummu Asy-Syuhada, umurnya 62 tahun, ibu dari tiga perwira Islam; Ahmed, Muheeb dan Umar. Putra-putra itu semua telah syahid (Insha Allah) dalam perang kedua di Falujjah.
Ia tinggal seorang diri di sebuah rumah mungil di Falujjah menghabiskan umurnya dengan bekerja bercucuran keringat – meskipun di usianya yang senja – membuat beberapa sapu untuk kemudian dijual di daerah-daerah sekitar. Ia menolak semua bantuan yang diberikan padanya baik dari pedangan dan orang kaya di Falujjah. Iajuga dikenal sebagai seorang yang doanya senantiasa terkabul. Anda akan menemukan orang-orang mengunjunginya untuk memintanya mendoakan merekasetiap harinya. Banyak dari mereka adalah wanita yang akan melahirkan atau mereka yang akan pergi bersafar, sakit dan bahkan ada pula paramujahidin. Para mujahidin itu datang padanya sebelum operasi dilakukan, memintanya untuk berdoa pada Allah agar menepatkan tembakan dan melindungi mereka.
Kami menuju rumahnya dan ia sedang memperbaiki beberapa sapu di kebun. Kebunnya sempit namun asri dengan pohon palm nan hijau menghiasi sertalima ekor ayam yang setia menemaninya.
“Assalamu’alaikum, wahai amah (bibi)!”
“Walaikumussalam warahmatullaahi wabarakatuh. Ahlan anakku, masuklah!.”
Kami masuk kedalam rumah lalu duduk di permadani yang dibuat dari bulu domba. UmmuAsy-Syuhadamelihat kamera dan buku catatan yang kami bawa, segeraia meletakkan apa yang ada ditangannya di sisi tubuhnya sembari berucap ramah: “Selamat datang anakku, apakah ada yang bisa saya bantu”
“Amah, Kami dari *****, kami ingin mendengar tentangkisah Falujjah selama peperangan yang kedua dari anda jika tidak keberatan”
Disini UmmuAsy-Syuhadamemandang keheranan dan mengatakan : *****?Dari mana kalian berasal? Aku tidak pernah mendengar tentang nama itu di televisi”
“Oh Ummi, itu adalah sebuah situs Islam di internet yang memperhatikan umat Muslim di Iraq dan negari-negerimuslim lainnya”
UmmuAsy-Syuhadatertawa dan mengatakan “Wallahi anakku, aku tidak mengerti apa yang kau katakan. Bagaimanapun, aku persilahkan untuk bertanya dan aku akan menjawabmu Insha Allah”
“Kami ingin anda bercerita tentang peperangan Falujjah yang kedua”
Secara reflek sang wartawan segera memfokuskan lensa kamera kearah Ummu Asy-Syuhada, bagaimanapun ia tidak berniat untuk merekam Ummu Asy-Syuhada.
Sejurus Ummu Asy-Syuhadamengatakan “Wallahi anakku, aku tidak suka kamera ini. haram bagiku dan aku adalah ibumu, seorang wanita yang terjaga. Tidak peduli setua apapun aku, aku tetap seorang wanita dan aku tidak mengizinkan apa yang telah Allah larang untuk wanita”.
Hajjah Zakia UmmuAsy-Syuhada memulai menceritakan kisahnya:
“Aku adalah seorang wanita tua di Falujjah yang percaya bahwa Allah adalah benar, sehingga Allah memberi cobaan pada hambanya yang perempuan dan laki-laki.... dan aku memohon dari-Nya semoga ia menerima agar aku dapat melewati cobaan melelahkan ini, demi Allah.
Suamiku telah wafat sepuluh tahun yang lalu, ia seorang suami yang sangat baik, semoga Allah merahmatinya. Aku dikaruniai tiga anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Mereka adalah Ahmad, Muheeb, Umar dan Khulood. Ahmad yang tertua, usianya tiga puluh lima tahun disusul Khulood, Muheeb dan si bungsu Umar. Suamiku dan aku mengabdikan diri kami untuk membesarkan mereka, memperhatikan mereka dan melihat pertumbuhan mereka.
Ayah mereka –semoga Allah menempatkannya di Jannah- turun langsung mendidiksampai mereka dewasa hingga lulus kuliah. Mereka tetap menjaga kedekatan pada masjid sejak kecil hingga mereka meninggal. Mereka bergabung dengan kelompok mujahidin di Falujjah setelah berhenti bekerja.
Kisah ini adalah kisah keluarga yang mengawali kisah Falujjah sehingga menjadi sebuah cerita yang panjang. Aku akan meringkas kisah ini karena aku sedang berpuasa dan aku pun memiliki banyak pekerjaan di rumah, terlebih ada orang-orang yang sudah membayarku untuk memperbaiki sapu-sapu mereka.
Sepekan sebelum pertempuran kedua di Falujjah, aku bercengkrama dengan anak-anak laki-lakiku Ahmad, Muheeb dan Umar,semoga Allah merahmati mereka,di rumah tua kami di daerah Al-Shuhda’a (Asy-Syuhada -ed). Ketika itu sore hari, kami minum teh bersama-sama. Mereka sedang mencoba membujukku untuk pergi ke rumah saudari perempuan mereka di sebuah kampung di luar Falujjah. Mereka mengkhawatirkan keselamatanku karena pertempuran yang akan datang. Amerika, Syiah dan Kurdis, mereka bergabung seperti serangga mengepung empat gerbang Falujjah.
Aku menolak usulan ini dan mereka,semoga Allah merahmati mereka, merengek padakuagar mau pergi, terutama Umar, yang terkecil di antara anak laki-lakiku. Ia mengatakan padaku: “Wahai ummi, tinggalkanlah Falujjah dan tinggalkan kami untuk bertempur sementara itu hati kami tenang akan dirimu. Pergilah, atau aku akan memaksamembawamu dengan mobil pickup”.
Iama membujukku, semoga Allah merahmatinya. Umar memiliki sifat periang dan semua teman-temannya mencintainya karena pancaran cahayanya. Bahkan ia memanggilku hajji bukan hajjah sembari berkata: ”Keberaniamu adalah untuk pria bukan untuk wanita”
Semua bujuk rayu mereka aku tolak mentah, aku katakan : “Aku akan tetap tinggal dan memasak untuk mu, untuk kelompokmu dan merawat lukamu. Aku tidak akan meninggalkan Falujjah selama kamu ada di dalamnya. Wallahi, aku tidak dapat meniggalkan hatiku di Falujjah dan pergi begitu saja”
Melihat ketetapanku, mereka meniggalkan ku seorang diri,semoga Allah merahmati mereka, dan keputusan terakhir kami adalah kami tetap tinggal di Falujjah sampai akhir pertempuran, baik memperoleh kemenangan maupun kesyahidan. Alhamdulillah putera-puteraku mendapatkan salah satu yang kita harapkan, mencapai kesyahidan.
Ahmad, Muheeb dan Umar, masing-masing mereka berada dalam kelompok yang berbeda dan mereka mendiskusikan diantara mereka sendiri tentang sebuah rencana untuk tetap menjaga komunikasi selama pertempuran.
Aku mendengar percakapan mereka dengan sedih sebagaimana aku mengenang mereka ketika mereka masih kanak-kanak, bagaimana ayah mereka memegang mereka dan bermain dengan mereka, bagaimana mereka tumbuh, bagaimana mereka melewati bangku sekolah dan diakhiri bagaimana janggut dan kumis mereka tumbuh.
Sampai-sampai aku mengenang masing-masing dari mereka bagaimana mereka merencanakan rencana pertama hidup mereka. Aku juga mengenang kegembiraanku saat hari pertama mereka melangkah, dan ketika gigi pertama mereka tumbuh dan aku mentahnikkan jari ku pada mereka untuk di kunyah dan kemudian tertawa pada mereka. Juga hari pertama mereka di sekolahdengan tas mungil mereka.
Aku menangis dalam sepi, khawatir bercampur keraguan. Sebelumnya aku yakin bahwa mereka akan syahid dalam pertempuran. “Beritahu padaku, apa yang anda pikirkan jika semua anak-anakmu meninggal, maka apa yang akan kau lakukan?”
Dengan kesedihan dan pilu ini, aku tetap berdoa pada Allah bahwa ia akan mengambil jiwa ku juga sehingga dukaku kan lenyap dan aku tidak merasakan lagi lara anak-anakku.
Ummu Asy-Syuhada menitikkan air mata yang mengalir jatuh mengikuti keriput wajahnya, tangisan tanpa suara dan sejujurnya, kami pun menangis bersama.
Tiba-tiba ia berdiri dan berkata lirih: “Permisi, aku mau melihat sup, aku khawatir gosong.”
Kami mengetahui ia tidak pergi ke dapur, kami mendengar tangisnya di sebuah ruangan dengan jendela yang menghadap kebun. Tangisan- yang berbeda dari tangisan perempuan yang meraung- doa datang dari wanita renta ini yang memanjatkan:
“Allahuma yang Maha Merajai dan Mengurusi siapa saja orang yang datang padanya dan janganlah menolak mereka ataupun tidak mengabulkan permintaan mereka bahkan jika mereka dihukum untuk mati. Ya Allah dan Engkaulah Raja dari Segala Raja, aku berdiri disini, di pintumu untuk memohon pada-Mu agar mengambil jiwaku karena kerinduanku pada putera-puteraku dan suamiku. Tidak satupun yang akan membuatku bertahan di kehidupan ini. Ya Allah, janganlah menolakku, seorang janda miskin yang semua puteranya telah tiada. Ya Allah yang Maha Menyanggupi, janganlah biarkankan aku ternggelam dalam kesedihan.”
Beberapa menit kemudian UmmuAsy-Syuhada kembali, matanya memerah karena tangis. Ia bersandar pada sebuah tongkat yang tidak ia gunakan ketika pertama kali tadi kami melihatnya dan seakan tubuhnya ambruk karena tangisan dan kelemahan. Dengan senang ia mengatakan: “Gas yang kami gunakan untuk kompor itu telah habis dalam satu hari. Aku yakin mereka menipu kita dan menjualnya kepada kita dengan harga yang tinggi. Semoga Allah memaafkan mereka”.Wanita tua itu tidak mengetahui bahwa kami mendengar tangisan dan doanya.
Ia melanjutkan kisahnya: “Pada tanggal 11 Juli 2004 terjadi pemboman sporadis dan intensif sebagai upaya untuk menembus benteng Falujjah dari utara. Mereka melemparkan bom-bom yang sangat menyala. Saat itu pukul sebelas malam, aku sedang sendirian dirumah dan aku memulai membaca apa yang aku hafal dari Al-Qur’an sampai aku menyelesaikan semua surat-surat pendek yang aku hafal. Kemudian aku bangun untuk berdoa pada Allah, yang pertama untuk kemenangan dan yang kedua agar ia melindungi putera-puteraku. Aku tidak tertidur malam itu, hingga waktu fajr.
Aku merasa Umar berdiri di dekat kepalaku saat aku berada di atas sajadah. ia mengatakan padaku : “Oh ummi, aku melihatmu tidak tidur. Kami semua baik-baik saja dan aku bersama Muheeb dan Ahmad, mereka semua baik-baik saja dan mereka ingin engkau membuat cukup makanan dan teh untuk empat belas Mujahidin. Apa yang engkau pikirkan, tidakkah engkau menginginkan pahala?”
Wallahi, aku sangat bahagia dengan tamu-tamuku sehingga dengan cepat pergi kedapur dan menyiapkan makanan yang cukup untuk empat belas pria. Teh dan roti panas aku siapkan dengan cepat.
Aku keluar dengannya dengan cepat ke pintu dan membantunya untuk membawakan makanan ke dalam mobil. ia mengatakan: “Oh ummi, makan siang ini atas mu, saudaraku Muheeb menjadi sukarelawan makan siang bagi Mujahidin Arab.”
Aku sholat Fajar dan berdoa pada Allah agar ia melindungi mereka semua. Sementara itu Falujjah masih tetap menjadi target serangan pesawat dan rudal Amerika. Setiap terjadi ledakan, atap diatas kepalaku seoalah-olah akan runtuh. Aku kembalikan kepada Allah dengan Doa dan Al-Qur’an. Aku akan menyiapkan makan siang untuk mereka.
Muheeb datang dan mencium tanganku sebagaimana yang biasa ia lakukan. ia meminta padaku jika saudara-saudaranya datang, mereka harus bertemu dengannya, penting pesannya. Aku bertanya padanya tentang masalah itu dan ia menjawab “Ummi, hanya soal sederhana. Tak perlulah engkau risaukan.”
Segera ia berlalu. Pandangan mataku mengikutinya hingga ia jauh. Muheebdikaruniai badan yang tinggi dan kekarsemoga Allah merahmatinya.
Hari berikutnya – dan aku telah memanggang lebih dari dua ratus roti sampai tanganku kelelahan menguleni adonan dan aku pun menyiapkan dua panci besar nasi dan rebusan – Anak-anakku semua datang dan tinggal denganku hingga jam satu malam. Aku menciumi mereka seolah-olah mereka masih kecil dan aku terus memandang mereka dengan erat seolah aku tahu bahwa aku tidak akan melihat mereka lagi setelah hari itu.
Wallahi, aku tidak akan melupakan ciumanku atas mereka selama aku hidup. Ayah mereka wafat dan tidak ada satupun didunia ini yang menggantikannya kecuali anak-anak ini. Wallahi, aku mengenal satu persatu wangi mereka. Setelah satu jam mereka pergi bersama-sama sembari membawa makanan, mereka mencium kening dan tanganku dan mengatakan padaku :
“Wahai ummi, berdoalah untuk kami karena Allah”
Aku katakan pada mereka: “Mengapa engkau bersumpah atas nama Allah, aku selalu berdoa untukmu siang dan malam”
Mereka menjawab: ”Bukan untuk kami, tetapi untuk seluruh Falujjah”
Mereka pergi dan aku tidak pernah melihat mereka kembali, selamanya…
Falujjah melalui banyak malam dengan pertempuran sengit yang dapat membuat seseorang gila. Aku tidak mendengarkan apa-apa melainkan tangisan “Allahu Akbar”, doa dari masjid, serangan dari mujahidin dan tembakan dari penjajah. Setiap hari aku duduk di ambang pintu rumah, jam demi jam melihat kearah jalan berharap kedatangan putera-puteraku. Aku akan bertanya kepada siapapun yang datang di jalan dan berlari kearah mereka: “Hei, Oh salah satu dari kalian, apakah anda melihat Ahmad, apakah anda melihat Muheeb, dan apakah anda melihat anakku Umar?”
Ummu Asy-Syuhada kembali menangis.
“Beberapa dari mereka mengatakan padaku bahwa mereka tidak mengenal anak-anakku dan yang lain mengatakanbahwa mereka tidak melihat. Hanya ada satu orang yang mengabarkan padaku “Ya ummi, Ahmad dan Umar mereka berada di daerah Al-Jumhooriya dan Muheeb berada di daerah An-Nizaal dan mereka dalam keadaan baik.”
Dia segera bergegas berlalu, aku berlari mengikutinya hingga tersandung dan terjatuh. Hidungku terantuk hingga berdarah. Aku memohon padanya untuk menghentikan langkah agar berbicara lebih banyak padaku. Akhirnya ia berhenti dan berkata: “Ibuku, aku telah mengatakan bahwa mereka baik-baik saja dan tidak ada yang salah dengan mereka alhamdulillah, tetapi jangan membuatku terlambat. Aku memiliki pekerjaan yang sangat penting untuk dilakukan. Jika aku melihat mereka lagi aku akan menyampaikan salam anda”.
Ia memberiku ghutrah dan menghiburku: “Hapuslah darahmu Oh Ibu”, kemudian ia pergi.
Kondisi seperti ini terus berlanjut hingga tanggal 12 Desember.Bagaimanapun aku telah memutuskan setelah ini bahwa aku akan menguatkan hatiku, percaya pada Allah dan melakukan sesuatu untuk Mujahidin. Aku mulai menyibukkan diri untuk memasak makanan dan membagi-bagikan minuman diantara para mujahidin Arab. Aku juga membuat perban dari tirai rumah, potongan bahan dari sekitar rumah dan mengambil kapas bantal. Kemudian aku merawat mujahidin yang terluka di peperangan. Dan alhamdulillah semua yang telah aku rawat kembali ke pertempuran. Jumlah mereka lebih dari dua puluh orang.
Sebelum datang tanggal 12Desember, yakni pada tanggal 9Desember- saya yakin, sebagaimana aku menghitung hari-hari semenjak aku dipisahkan dari anak-anakku- hari ini yahudi menyebar bahan kimia yang sangat kuat di sekitar Falujjah, khususnyadipusat kota. Banyak orang syahid sampai senjata kimia itu pun membakar pepohonan dan hewan-hewan. Hal ini menambah kesibukan di pusat kota, dalam beberapa jam puluhan mujahidin mati syahid. Kemudian sebuah isu menyebar diantara Mujahidin dari sumber yang mana sampai sekarang masih belum diketahui. Tapi aku meyakini bahwa hal itu berasal dari seorang agenintel penjajah.
Isu itu mengabarkan bahwa Umar Hadid dan Abdullah Al-Janaabi syahid dalam serangan senjata kimia. Kepanikan diantara kelompok-kelompok menyebar di Falujjah, hanya Allah yang maha mengetahui. Aku mendengar hal ini dari seorang yang sedangku rawat.
Namun Umar Hadid dan Abdullah Al-Janaabi menampik rumor itu ketika mereka tiba-tiba muncul ditengah-tengahmujahidin di hari itu. Peristiwa ini meningkatkan semangat mujahidin dan memberikan kerugian yang besar atas pekerjaan penjajah, hanya Allah yang Maha Tahu.
Pertempuran dahsyat terus berlangsung antara mujahidin dan rakyatnya melawan aliansi penjajah.Aku mendengar berita ada puluhan syuhada diantara mujahidin. Aku memohon pada Allah untuk menyenangkan mata saya suatu hari nanti dengan melihat tiga putra saya.
Kemudian, saat pukul 11 malam tangga 12 Desember 2004 hari ahad, disana terjadi pertempuran sengit antara mujahidin dan Amerika yang mencoba untuk merebut daerah Al-Shuhda’a. Pertempuran terjadi sangat dekat dengan rumahku dan aku dapat melihat langit menyala memenuhi api, sebuah pemandangan yang tidak akan aku lupakan di sisa hidupku.
Betapa banyak syuhada yang gugur selama pertempuran ini dan aku mendengar rintihan mereka dekat dengan rumahku. Situasi seperti itu berlangsung kira-kira selama 4 jam, semenjak pukul 11 sampai pukul 3dini hari, atau kurang sedikit. Selama ini serangan Amerika atas daerah ini gagal. Aku keluar menuju pintu rumah dan aku mendengar raungan datang dari seorang mujahidin yang terluka. ia mengingat Allah dan ia tidak berhenti menyebut laa illaha illaa allah muhammad rasoolulullah.
Aku bergegas mendekatinya, ternyata dia masih hidup sehingga aku menyeretnya dengan segala kekuatan kedalam rumah. Dia terluka di dada dan wajahnya. Aku bergegas membawakan air dan membersihkan wajahnya dan membalut luka-lukanya sampai pendarahan berhenti. Ia menangis dan aku pikir ia menangis karena rasa sakitnya. Setiap kali ia menatapku dia akan menangis, sehingga aku katakan padanya:
“Percayalah pada Allah, lukamu tidak parah Insha Allah, dapat disembuhkan. Menyadari bahwa anda baik-baik saja adalah hal yang penting.Subuh semakin dekat, kelompok anda akan segera datang kemari, mereka akan membawa mu dan merawatmu. Bagaimanapun biarkan aku pergi dan melihat jika kelompokmu masih ada yang hidup atau tidak.”
Kali ini ia mulai menangis lebih keras, seolah-olah ia tidak ingin ditinggalkan seorang diri, sehingga aku berfikir mungkin ia merasa bahwa kematiannya sudah dekat dan ia tidak ingin mati sendirian. Aku mengatakan bahwa teman-teman yang lain mungkin membutuhkan bantuan, aku akan pergi dan kembali secepat mungkin.
Aku pergi kejalan raya- setelah menyentakkan abayaku dan mengikatnya di pinggang-. Aku memutuskan bahwa aku akan menolong yang terluka terlebih dahulu. Benar aku kemudian menemukan seorang korban berikutnya, orang arab. Aku menyeretnya kedalam rumah dan memulai untuk melakukan apa yang harus dilakukan dengannya. Aku heran ketika ia menyebutku dengan sebutan “Oh Amah, Ummu Muheeb”. Seolah-olah ia mengenal ku padahal biasanya orang-orang memanggil ku dengan Ummu Ahmad.
Aku menduga ia teman putraku dan mengetahui rumah kami. Dia terluka dari bawah pusarnya, semoga Allah merahmatinya dan ususnya keluar menjulur. Dia mengatakan kepadaku bahwa semua yang ia inginkan hanya beberapa lumpur dari kebun, garam dan perban. Aku memberinya apa yang ia inginkan dan kemudian aku kembali keluar kejalan.
Disana aku menemukan dua mayat, terpisah dua rumah dariku. Aku menyeret yang pertama dengan sekuat tenaga ke rumah dan meletakkannya di kebun. Lalu aku mengambil sekop berniat untuk menggali kuburan untuknya. Dan sungguh aku menggali dengan rentang kedalaman seadanya sepanjang dua meter kemudian aku menimbunnya. Aku hanya ingin ia terkubur secara darurat sampai keluarganya atau temannya datang untuk memindahkan tubuhnya agar dapat menguburkannya lebih tepat sesuai dengan syariah.
Setelah aku menguburkan yang pertama aku sangat kelelahan karena aku terlalu tua untuk menyeret orang yang terluka dan satu jenazah puluhan meter. Namun aku bertawakal kepada Allah dan mengatakan pada diriku sendiri. Semoga Allah akan melindungi anak-anakku dari kematian, sebagai imbalan atas apa yang telah saya lakukan.
Aku keluar menuju jalan lagi dan menemukan satu lagi syuhada yang berbadan besar dan tinggi. Aku mulai perlahan-lahan menariknya dari kakinya. Setelah beberapa menit sampailah akudi kebun rumahku. Disini aku mulai curigajika aku mengenali syuhada ini - dan kemejanya robek dibagian belakang - juga baunya sangat aku kenali. Saat itu malam hari dan sangat gelap, bahkan aku tidak dapat melihat telapak tanganku. Aku berlari menuju rumah dan menyalakan sebuah lentera, walaupun sesuatu yang membahayakan untuk memancarkan cahaya dari rumah. Hal ini karena pesawat penjajah dapat membom setiap menit.
Ketika aku mendekatkan lentera semakin dekat ke wajah sang syahid yang berlumuran darah dan pasir, aku membeku di tempatku seperti tersambar petir. Aku tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Syuhada yang aku seret kali ini tidak lain adalah Muheeb anakku yang kedua!”
Ummu Asy-Syuhada diam dan tangisnya meledak. Iaberucap: “Wallahi Oh Muheeb kau mematahkan kekuatanku, kau dan saudara-saudaramu meniggalkanku dan pergi begitu saja”. Kemudian ia tersadar; “inna lillahi wa innaa ilayhi raaji’oon” aku telah merencanakan untuk tidak menangis atas mereka dan kali ini adalah ketiga kalinya saya menangisi mereka hari ini”.
Kemudian wanita yang terhentak itu melanjutkan kisahnya: “Aku mengangkat kepalanya dan dan memeluknya, aku menangisinya dan berbicara dengannya selama sekitar setengah jam seakan-akan ia masih hidup. Aku mengingatnya atas tutur katanya yang baik denganku, kenangan ketika ia masih kecil dan ia tertidur di pangkuanku. Aku membelai lembut rambutnya yang indah sebagai mana yang selalu kulakukan. Aku mengatakan padanya: “Oh Muheeb, aku adalah ibumu....tidurlah oh cahaya mataku, tidur dan beristirahatlah dari dunia ini. Engkau telah menang!”
Wallahi!Aku tidak ingin melepaskannya dari pangkuanku. Aku menguburkannya dibawah pohon zaitun yang ia cintai dan tempatnya belajar ketika ia masih kecil. Aku membuat lubang yang dalam, aku memutuskan bahwa rumahnya akan menjadi makamnya.
Di pagi hari sekelompok Mujahidin tiba dan aku masih berada di makam Muheeb. Menjaga anakku yang syahid seakan-akan ada orang yang hendak menculiknya. Aku menangisinya dari malam sampai pagi hingga aku menyadari kedatangan mereka setelah mendengar suara mereka di jalan. Aku pergi menemui mereka dan mengenalku. Aku mengetahui bahwa mereka adalah teman-teman Ahmad dan Umar.
Aku bertanya kepada mereka:”Katakan padaku, dimana anak-anakku Ahmad dan Umar?”
Mereka membungkukkan kepala kebawah dan mengatakan: “Oh bibi, ingatlah mereka dengan Allah. Tadi malam Ahmad dan Umar wafat di daerah Nizaal dan kami menguburkan mereka di halaman rumah Hajji Khaleel Al-Fiyaad”
Aku tidak tahu mengapa aku tidak menangis pada saat berita itu sampai. Mungkin karena aku telah sangat letih menangisi Muheeb atau karena saat itu aku tersentak. Aku bertanya pada mereka: “Apakah mereka wafat dalam keadaanmaju atau mundurdimedan peperangan?”
Salah satu dari mereka menjawab:”Wallahi, mereka wafat saat maju dan mereka menerima pembalasan dendam atas mereka sebelum mereka wafat”.
Aku memuji pada Allah dan kemudian aku mengatakan kepada mereka untuk memasuki rumah agar mengambil dua orang yang terlukan dengan mereka. Ketika mereka memasukinya mereka menemukan satu dari mereka, yaitu yang arab sudah tidak bernyawa. Sedangkan yang lainnya masih hidup dan mereka membawanya. Mereka menguburkan yang wafat di kebun rumahku.
Mereka terkesan bahwa aku mampu menggali dua buah kuburan dalam satu jam. Aku mengatakan bahwa kuburan dibawah pohon zaitun itu milik anakku Muheeb dan yang lain, adalah seorang syuhada yang tidak aku kenali dan ia tidak di kuburkan dengan selayaknya. Sehingga aku meminta salah satu dari mereka untuk menguburkannya kembali dan membuatkan kuburan yang lebih layak.
Setelah selesai, mereka memohon kepadaku untuk ikut dengan mereka mencoba keluar meninggalkan Fallujah. Aku menolak. Salah satu dari mereka, tampaknya bukan orang Iraq berkata: “Oh Ibu engkau telah kehilangan tiga putera dan kami semua adalah anak-anakmu. Insha Allah Ahmad, Umar dan Muheeb berada di dalam Jannah”
Kemudian mereka pergi tergesa-gesa dan aku kembali kedalam rumah untuk sholat Dhuha. Tiga pertempuran kembali pecah dalam tiga malam berikutnya. Selama waktu itu aku mampu menarik empat syuhada lainnya dan menguburkan mereka di kebun rumahku. Hingga kini kebun rumah itu terdapat tujuh kuburan parasyuhada. Seluruh kebun dan rumah dipenuhi dengan aroma misk yang belum pernah aku cium sebelumnya. Aroma ini membuat aku merasa senang dan memberikanku kesabaran.
Aku tidur selama empat malam disamping makam Muheeb dan aku mendapatkan aroma itu di kuburnya. Aku tidur dengannya seperti ibu yang menimanganaknya ketika ia sedang tertidur. Aku tetap tertahan dirumah dengan para syuhada selam tujuh hari hingga tanggal 13 Januari 2005, ketika bulan sabit merah masuk dari arah utara atas izin dari penjajah.
Mereka memaksaku untuk pergi dengan mereka ke sebuah kamp pengungsian di As-Saqlaawiya. Disana aku mengetahui bahwa setelah peperangan para pekerja sukarela dari Fallujah menggali kuburan Muheeb dan teman-temannya dan mengambil mereka untuk dikuburkan kembali dengan saudara-saudaranya di pekuburan khusus para syuhada.
Ini adalah kisahku dan aku berusaha menceritakannya meskipun sakit dan pedih. Pula, aku berharap bahwa aku memiliki tiga putra yang akan mati demi Allah meskipun betapa berat kesedihanku atas mereka. Sebagai ibumu adalah kebanggaan karena ia adalah ibu dari para syuhada.
Umm Asy-Syuhadamengakhiri ceritanya dengan beberapa bait syairbadui yang mampu kami tulis. Dia berkata: "Syair untuk para ulama yang selalu memakai surban di kepala mereka. Untuk mereka aku mendedikasikan dua syair ini. Aku bertanya kepada mereka. Apa yang akan Anda katakan pada hari Anda berdiri di antara penuntut balas dan Maha Kuat?
Bunyi syair beliau seperti ini:
Kami berharap dengan anda dan berpikir anda akan menyelamatkan kami
Kami tidak berharap, anda berlalu mencampakkan kami setelah melihat penderitaan ini
Kami berharap dengan anda (……………….)
Oh ketidakadilan, harapan telah sirna dan pendusta telah muncul
Demi Allah, Anda telah mematahkan hati kami dan membuat kami berurai air mata. Oh ibu para syuhada. Semoga Allah menerima anak-anakmu sebagai syuhada dan mengumpulkan kamu dengan mereka di surga tertinggi, Al-Firdaus. Amin.
Garis rapuh tergores dikeningnya
Hanya waktu berpihak
Jemari mulai kaku menuntut untuk hidup
Apa daya hanya sisa raja dinanti
Garis rapuh terlukis di dahinya
Sang tua berjalan tanpa tandu
Tiada naung peristirahatannya
Berlaku sehari setetes semadu
Garis tua itu Nampak hanyut
Kusut bertabur peluh
Setengah perjalanan penguasa pencari buntut
Acuh setengah hati
Garis tua itu berontak
Garis tua itu saksi tirani
Garis tua itu berteriak
Mencari upa terselip di ketiak-ketiak sumbi
Dawlah kini harapan
Penjajah asa bermuram kelam
Secercah suria kemenangan
Menutup lembaran Fallujah dalam temaram
::: TAMAT ::: (saif al battar/al malhamah/arrahmah.com)

Monday, June 11, 2012

Kisah Sebutir Telur dan Sepotong Dendeng


Pada sebuah senja dua puluh tahun yang lalu, terdapat seorang pemuda yang kelihatannya seperti seorang mahasiswa berjalan mondar mandir di depan sebuah rumah makan cepat saji di kota metropolitan, menunggu sampai tamu di restoran sudah agak sepi, dengan sifat yang segan dan malu-malu dia masuk ke dalam restoran tersebut. “Tolong sajikan saya semangkuk nasi putih.” Dengan kepala menunduk pemuda ini berkata kepada pemilik rumah makan. Sepasang suami istri muda pemilik rumah makan, memperhatikan pemuda ini hanya meminta semangkuk nasi putih dan tidak memesan lauk apapun. Lalu mereka menghidangkan semangkuk penuh nasi putih untuknya. Ketika pemuda ini menerima nasi putih dan membayar ia berkata dengan pelan: “Dapatkah Bapak menyiram sedikit kuah sayur di atas nasi saya?” Istri pemilik restoran berkata sambil tersenyum: “Silahkan, ambil kuah sayur mana saja yang engkau suka, tidak perlu bayar!” Pemuda ini berpikir : “Di restoran ini, kuah sayur gratis.” Lalu ia memesan semangkuk lagi nasi putih. “Semangkuk tidak cukup anak muda, kali ini saya akan berikan lebih banyak lagi nasinya.” Dengan tersenyum ramah pemilik restoran berkata kepada pemuda ini. “Bukan, untuk dibawa pulang, besok saya akan membawanya ke sekolah sebagai bekal makan siang saya!” Mendengar perkataan pemuda ini, pemilik restoran berpikir pemuda ini tentu dari keluarga miskin diluar kota, demi menuntut ilmu datang ke kota untuk menempuh pendidikan, mencari uang sendiri untuk sekolah, kesulitan dalam keuangan itu sudah pasti. Pemilik restoran lalu menaruh sepotong daging dan sebutir telur disembunyikan dibawah nasi, kemudian membungkus nasi tersebut. Sepintas terlihat hanya sebungkus nasi putih saja. Dan memberikan kepada pemuda ini. Melihat perbuatannya, istrinya paham jika suaminya sedang membantu pemuda ini, hanya dia tidak mengerti, kenapa daging dan telur disembunyikan di bawah nasi. Suaminya kemudian membisik kepadanya: “Jika pemuda ini melihat kita menaruh lauk di atas nasinya dia tentu akan merasa bahwa kita bersedekah kepadanya, harga dirinya pasti akan tersinggung dan lain kali dia tidak akan datang lagi. Jika dia ke tempat lain dan hanya membeli semangkuk nasi putih, dari mana ada gizi untuk bersekolah.” “Engkau sungguh baik hati, sudah menolong orang masih menjaga harga dirinya.” “Jika saya tidak baik, apakah engkau akan menjadi istriku?” sambut suaminya dengan senyum hangat. Sepasang suami istri muda ini merasa gembira dapat membantu orang lain. “Terima kasih, saya sudah selesai makan.” Pemuda ini pamit kepada mereka. Ketika dia sudah mengambil bungkusan nasinya, dia membalikan badan melihat dengan pandangan mata berterima kasih kepada mereka. “Besok singgah lagi, engkau harus tetap bersemangat!” kata pemilik restoran sambil melambaikan tangan, dalam perkataannya bermaksud mengundang pemuda ini, besok jangan segan-segan datang lagi. Sepasang mata pemuda ini berkaca-kaca terharu, mulai saat itu setiap sore pemuda ini singgah kerumah makan mereka, sama seperti biasa setiap hari hanya memakan semangkuk nasi putih dan membawa pulang sebungkus lagi untuk bekal keesokan hari. Sudah pasti nasi yang dibawa pulang setiap hari terdapat lauk berbeda yang tersembunyi setiap hari, sampai pemuda ini tamat sekolah. Setelah tamat sekolah, selama 20 tahun pemuda ini tidak pernah muncul lagi di restoran tersebut karena sudah bekerja di kota lain. Pada suatu hari, ketika suami ini sudah berumur 50 tahun lebih, pemerintah melayangkan sebuah surat bahwa rumah makan mereka harus digusur. Suami istri ini tiba-tiba kehilangan mata pencaharian. Dan mengingat anak mereka yang disekolahkan di luar negeri yang perlu biaya setiap bulan, membuat suami istri ini berpelukan menangis dengan panik. Pada saat ini masuk seorang pemuda yang memakai pakaian bermerek kelihatannya seperti direktur dari kantor yang bagus. “Apa kabar? Saya adalah wakil direktur dari sebuah perusahaan. Saya diperintahkan oleh direktur kami mengundang kalian membuka kantin di perusahaan kami. Perusahaan kami telah menyediakan semuanya. Kalian hanya perlu membawa koki dan “keahlian” kalian kesana, keuntungannya akan dibagi dua dengan perusahaan.” “Siapakah direktur diperusahaan Anda? Dan mengapa ia begitu baik terhadap kami? Saya tidak pernah mengenal seorang yang begitu mulia!” sepasang suami istri ini berkata dengan terheran-heran. “Kalian adalah penolong dan kawan baik direktur kami! Direktur kami paling suka makan telur dan dendeng buatan kalian, hanya itu yang saya tahu. Yang lain setelah kalian bertemu dengannya dapat bertanya kepadanya.” Akhirnya, pemuda yang hanya memakan semangkuk nasi putih ini muncul. Setelah bersusah payah selama 20 tahun akhirnya pemuda ini dapat membangun kerajaaan bisnisnya dan sekarang menjadi seorang direktur yang sukses untuk kerajaan bisnisnya. Dia merasa kesuksesan pada saat ini adalah berkat bantuan sepasang suami istri ini. Jika mereka tidak membantunya dia tidak mungkin akan dapat menyelesaikan kuliahnya dan menjadi sesukses sekarang. Setelah berbincang-bincang, suami istri ini pamit hendak meninggalkan kantornya. Pemuda ini berdiri dari kursi direkturnya dan dengan membungkuk dalam-dalam berkata kepada mereka: “Bersemangat ya! Di kemudian hari perusahaan tergantung kepada kalian, sampai bertemu besok!” Kebaikan hati dan balas budi selamanya dalam kehidupan manusia adalah suatu perbuatan indah dan yang paling mengharukan. Bisa jadi salah satu kebaikan yang pernah Anda tunjukkan akan bermanfaat di kemudian hari. Jangan berhenti untuk berbuat baik terhadap sesama. http://kisahislami.com/

Sunday, June 10, 2012

aku telah menjual jiwa dan hartaku dengan harapan aku memperoleh Surga


Abdul Wahid bin Zaid berkata, “Ketika kami sedang duduk-duduk di majelis kami, aku pun sudah siap dengan pakaian perangku, karena ada komando untuk bersiap-siap sejak Senin pagi. Kemudian saja ada seorang laki-laki membaca ayat, (artinya) ‘Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin jiwa dan harta mereka dengan memberi Surga.’ (At-Taubah: 111). Aku menyambut, “Ya, kekasihku.”

Laki-laki itu berkata, “Aku bersaksi kepadamu wahai Abdul Wahid, sesungguhnya aku telah menjual jiwa dan hartaku dengan harapan aku memperoleh Surga.”
Aku menjawab, “Sesungguhnya ketajaman pedang itu melebihi segala-galanya. Dan engkau sajalah orang yang aku sukai, aku khawatir manakala engkau tidak mampu bersabar dan tidak mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.”
Laki-laki itu berkata, “Wahai Abdul Wahid, aku telah berjual beli kepada Allah dengan harapan mendapat Surga, mana mungkin jual beli yang aku persaksikan kepadamu itu akan melemah.” Dia berkata, “Nampaknya aku memprihatinkan kemampuan kami semua, …kalau orang kesayanganku saja mampu berbuat, apakah kami tidak?” Kemudian lelaki itu menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah kecuali seekor kuda, senjata dan sekedar bekal untuk . Ketika kami telah berada di medan dialah laki-laki pertama kali yang tiba di tempat tersebut. Dia berkata, “Assalamu ’alaika wahai Abdul Wahid,” Aku menjawab, “Wa’alaikumussalam warahmatullah wa barakatuh, alangkah beruntungnya perniagaan ini.”
Kemudian kami berangkat menuju medan perang, lelaki tersebut senantiasa berpuasa di siang hari dan qiyamullail pada malam harinya melayani kami dan menggembalakan hewan ternak kami serta menjaga kami ketika kami tidur, sampai kami tiba di wilayah Romawi.
Ketika kami sedang duduk-duduk pada suatu hari, tiba-tiba dia datang sambil berkata, “Betapa rindunya aku kepada bidadari bermata jeli.” Kawan-kawanku berkata, “Sepertinya laki-laki itu sudah mulai linglung.” Dia mendekati kami lalu berkata, “Wahai Abdul Wahid, aku sudah tidak sabar lagi, aku sangat rindu pada bidadari bermata jeli.” Aku bertanya, “Wahai saudaraku, siapa yang kamu maksud dengan bidadari bermata jeli itu.” Laki-laki itu menjawab, “Ketika itu aku sedang tidur, tiba-tiba aku bermimpi ada seseorang datang menemuiku, dia berkata, ‘Pergilah kamu menemui bidadari bermata jeli.’ Seseorang dalam mimpiku itu mendorongku untuk menuju sebuah taman di pinggir sebuah sungai yang berair jernih. Di taman itu ada beberapa pelayan cantik memakai perhiasan sangat indah sampai-sampai aku tidak mampu mengungkapkan keindahannya.
Ketika para pelayan cantik itu melihatku, mereka memberi kabar gembira sambil berkata, ‘Demi Allah, suami bidadari ber-mata jeli itu telah tiba.’ Kemudian aku berkata, ‘Assalamu ‘alaikunna, apakah di antara kalian ada bidadari bermata jeli?’ Pelayan cantik itu menjawab, ‘Tidak, kami sekedar pelayan dan pembantu bidadari bermata jeli. Silahkan terus!’
Aku pun meneruskan maju mengikuti perintahnya, aku tiba di sebuah sungai yang mengalir air susu, tidak berubah warna dan rasanya, berada di sebuah taman dengan berbagai perhiasan. Di dalamnya juga terdapat pelayan bidadari cantik dengan mengenakan berbagai perhiasan. Begitu aku melihat mereka aku terpesona. Ketika mereka melihatku mereka memberi kabar gembira dan berkata kepadaku, ‘Demi Allah telah datang suami bidadari bermata jeli.’ Aku bertanya, ‘Assalamualaikunna, apakah di antara kalian ada bidadari bermata jeli?’ Mereka menjawab, Waalaikassalam wahaiwaliyullah, kami ini sekedar budak dan pelayan bidadari bermata jeli, silahkan terus.’
Aku pun meneruskan maju, ternyata aku berada di sebuah sungai khamr berada di pinggir lembah, di sana terdapat bidadari-bidadari sangat cantik yang membuat aku lupa dengan kecantikan bidadari-bidadari yang telah aku lewati sebelumnya. Aku berkata, ‘Assalamu alaikunna, apakah di antara kalian ada bidadari bermata jeli?’ Mereka menjawab, ‘Tidak, kami sekedar pembantu dan pelayan bidadari bermata jeli, silahkan maju ke depan.’
Aku berjalan maju, aku tiba di sebuah sungai yang mengalirkan madu asli di sebuah taman dengan bidadari-bidadari sangat cantik berkilauan wajahnya dan sangat jelita, membuat aku lupa dengan kecantikan para bidadari sebelumnya. Aku bertanya, ‘Assalamu alaikunna, apakah di antara kalian ada bidadari bermata jeli?’ Mereka menjawab, ‘Wahai waliyurrahman, kami ini pembantu dan pelayan bidadari jelita, silahkan maju lagi.’
Aku berjalan maju mengikuti perintahnya, aku tiba di se-buah tenda terbuat dari mutiara yang dilubangi, di depan tenda terdapat seorang bidadari cantik dengan memakai pakaian dan perhiasan yang aku sendiri tidak mampu mengungkapka keindahannya. Begitu bidadari itu melihatku dia memberi kabar gembira kepadaku dan memanggil dari arah tenda, ‘Wahai bidadari bermata jeli, suamimu datang!’
Kemudian aku mendekati kemah tersebut lalu masuk. Aku mendapati bidadari itu duduk di atas ranjang yang terbuat dari emas, bertahta intan dan berlian. Begitu aku melihatnya aku terpesona sementara itu dia menyambutku dengan berkata, ‘Selamat datang waliyurrahman, telah hampir tiba waktu kita bertemu.’ Aku pun maju untuk memeluknya, tiba-tiba ia berkata, ‘Sebentar, belum saatnya engkau memelukku karena dalam tubuhmu masih ada ruh kehidupan. Tenanglah, engkau akan berbuka puasa bersamaku di kediamanku, insya Allah. ‘
Seketika itu aku bangun dari tidurku wahai Abdul Wahid. Kini aku sudah tidak bersabar lagi, ingin bertemu dengan bida-dari bermata jeli itu.”
Abdul Wahid menuturkan, “Belum lagi pembicaraan kami (cerita tentang mimpi) selesai, kami mendengar pasukan musuh telah mulai menyerang kami, maka kami pun bergegas meng-angkat senjata begitu juga lelaki itu.
Setelah peperangan berakhir, kami menghitung jumlah para korban, kami menemukan 9 orang musuh tewas dibunuh oleh lelaki itu, dan ia adalah orang ke sepuluh yang terbunuh. Ketika aku melintas di dekat jenazahnya aku lihat, tubuhnya berlu-muran darah sementara bibirnya tersenyum yang mengantarkan pada akhir hidupnya.”
(Tanbihul Ghafilin, 395)
Sumber: 99  Orang Shalih, Penerbit Darul Haq
Artikel www.KisahMuslim.com