Wednesday, May 30, 2012

Engkau Jujur Kepada Allah Allah pun Mewujudkan Cita-Citamu



Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dengan sanad shahih, An-Nasai dan lain-lain, dari Syaddad bin Al-Had bahwa ada seorang laki-laki Arab Badui datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beriman kepada apa yang dibawa oleh nabi dan mengikuti beliau. Badui tersebut berkata kepada nabi, “Aku akan berhijrah bersamamu,” Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat memberikan nasihat agama kepadanya. Pada Perang Khaibar, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam membagikan ghanimah kepada kaum muslimin. Nabi memberikan bagian kepada para sahabat yang membuat mereka bergembira, akan tetapi ketika pembagian sampai kepada si Badui, tiba-tiba dia menolaknya sembari berkata, “Apa ini?” Para sahabat menjawab, “Ini adalah bagian ghanimah untukmu yang berasal dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.”

Mendapatkan jawaban para sahabat, si Badui terpaksa mengambil bagian ghanimah itu tetapi kemudian dia menghadap Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sesampai di hadapan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, si Badui bertanya, “Harta apakah ini?” “Ini adalah bagian ghanimah yang aku bagi untukmu.” jawab Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Kembali orang Badui itu berkata, “Bukan karena perkara ini aku mengikutimu, akan tetapi aku mengikutimu karena aku ingin agar suatu saat nanti aku terkena lemparan panah di sini –sambil menunjuk ke lehernya– sehingga aku terbunuh dan masuk jannah karenanya.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau jujur kepada Allah, maka Allah akan membenarkanmu.”

Setelah itu, kaum muslimin beristirahat sebentar, mereka kemudian  melanjutkan lagi penyerbuan terhadap musuh. Di tengah berkecamuknya peperangan, si Badui dibawa menghadap Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan keadaan terkena panah di tempat yang sesuai dengan yang dia tunjukkan sebelumnya. Melihat itu, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah dia orang yang kemarin?” Para sahabat menjawab, “Benar,” Nabi bersabda, “Dia telah berbuat shiddiq kepada Allah , maka Allah berbuat shiddiq kepadanya.” Selanjutnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengkafaninya dengan baju besi milik Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau mendoakannya dan di antara doa beliau adalah,

“Ya Allah, ini adalah hamba-Mu, dia keluar untuk behijrah di jalan-Mu dan terbunuh sebagai syahid. Dan aku bersaksi atas perkara itu.”

Sumber: Kisah-Kisah Pahlawan Generasi Pilihan, Hilmi bin Muhammad bin Ismail, Wafa Press

Artikel www.KisahMuslim.com

Saturday, May 26, 2012

Kepada yg tercinta, bundaku yg kusayang


Segala puji bagi Allah… yg telah memuliakan kedudukan kedua orang tua, dan telah menjadikan mereka berdua sebagai pintu tengah menuju surga.

Shalawat serta salam hamba -yg lemah ini- panjatkan keharibaan Nabi yg mulia, keluarga serta para sahabatnya hingga hari kiamat. Amin…

Ibu…

Aku terima suratmu yg engkau tulis dg tetesan air mata dan duka… aku telah membaca semuanya… tidak ada satu huruf pun yg aku sisakan.

Tapi tahukah engkau, wahai Ibu… bahwa aku membacanya semenjak shalat Isya’… Semenjak sholat isya’… aku duduk di pintu kamar, aku buka surat yg engkau tuliskan untukku… dan aku baru selesaikan membacanya setelah ayam berkokok… setelah fajar terbit dan adzan pertama telah dikumandangkan…

Sebenarnya, surat yg engkau tulis tersebut, jika ditaruhkan di atas batu, tentu ia akan pecah… Jika engkau letakkan di atas daun yg hijau, tentu dia akan kering…

Sebenarnya, surat yg engkau tulis tersebut tidak akan tertelan oleh ayam… Sebenarnya, wahai ibu, suratmu itu bagiku bagaikan petir kemurkaan, yg jika dipecutkan ke pohon yg besar, dia akan rebah dan terbakar…

Suratmu wahai ibu, bagaikan awan Kaum Tsamud, yg datang berarak dan telah siap dimuntahkan kepadaku…

Ibu…

Aku telah baca suratmu, sedangkan air mataku tidak pernah berhenti!! Bagaimana tidak… Jika surat itu ditulis oleh seorang yg bukan ibu dan bukan ditujukan pula kepadaku, layaklah orang yg paling bebal, untuk menangis sejadi-jadinya… Bagaimana kiranya, jika yg menulis itu adalah ibuku sendiri… dan surat itu ditujukan untukku sendiri…

Sungguh aku sering membaca kisah sedih, tidak terasa bantal yg dijadikan tempat bersandar telah basah karena air mata… Bagaimana pula dg surat yg ibu tulis itu!? bukan cerita yg ibu karang, atau sebuah drama yg ibu perankan, akan tetapi dia adalah kenyataan hidup yg ibu rasakan.

Ibuku yg kusayangi…

Sungguh berat cobaanmu… sungguh malang penderitaanmu… semua yg engkau telah sebutkan benar adanya…

Aku masih ingat ketika engkau ditinggalkan ayah pada masa engkau hamil tua mengandung adikku. Ayah pergi entah kemana tanpa meninggalkan uang belanja, jadilah engkau mencari apa yg dapat dimasak di sekitar rumah dari dedaunan dan tumbuhan.

Dg jalan berat engkau melangkah ke kedai untuk membeli ala kadarnya, sambil engkau membisikkan kepada penjual bahwa apa yg engkau ambil tersebut adalah hutang… hutang… yg engkau sendiri tidak tahu, kapan engkau akan dapat melunasinya…

Ibu…

Aku masih ingat ketika kami anak-anakmu menangis untuk dibuatkan makanan, engkau tiba-tiba menggapai atap dapur untuk mengambil kerak nasi yg telah lama engkau jemur dan keringkan…

Tidak jarang pula engkau simpan untukku sepulang sekolah tumbung kelapa, hanya untuk melihat aku mengambilnya dg segera.

Aku masih ingat… engkau sengaja ambilkan air didih dari nasi yg sedang dimasak, ketika engkau temukan aku dalam keadaan sakit demam.

Ibu…

maafkanlah anakmu ini… aku tahu bahwa semenjak engkau gadis, sebagaimana yg diceritakan oleh nenek sampai engkau telah tua seperti sekarang ini, engkau belum pernah mengecap kebahagiaan.

Duniamu hanya rumah serta halamannya, kehidupanmu hanya dg anak-anakmu… Belum pernah aku melihat engkau tertawa bahagia, kecuali ketika kami anak-anakmu datang ziarah kepadamu. Selain dari itu, tidak ada kebahagiaan… Semua hidupmu adalah perjuangan. Semua hari-harimu adalah pengorbanan

Ibu…

Maafkan anakmu ini! Semenjak engkau pilihkan untukku seorang istri, wanita yg telah engkau puji sifat dan akhlaknya… yg engkau telah sanjung pula suku dan negerinya! Semenjak itu pula aku seakan-akan lupa deganmu…

Wahai ibu…

Keberadaan dia sebagai istriku telah membuatku lupa posisi engkau sebagai ibuku… senyuman dan sapaannya telah melupakanku dg himbauanmu.

Ibu… aku tidak menyalahkan wanita pilihanmu tersebut, karena kewajibannya untuk menunaikan tanggung-jawabnya sebagai istri… Aku berharap pada permasalahan ini, engkau tidak membawa-bawa namanya, dan mengaitkan kedurhakaanku kepadamu karenanya… Karena selama ini, di mataku dia adalah istri yg baik, istri yg telah berupaya berbuat banyak untuk suami dan anak-anaknya… Istri yg selalu menyuruh untuk berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tua.

Ibu…

Ketika seorang laki-laki menikah dg seorang wanita, maka seolah-olah dia telah mendapatkan permainan baru, seperti anak kecil mendapatkan boneka atau orang-orangan. Maafkan aku ibu…

Aku tidaklah membela diriku, karena dari awal dan akhir pembicaraan ini kesalahan ada padaku, anakmu ini… Akan tetapi aku ingin menerangkan keadaan yg aku alami, perubahan suasana setelah engkau dan aku berpisah, tidak satu atap lagi…

Ibu…

Perkawinanku membuatku masuk ke alam dunia baru… dunia yg selama ini tidak pernah aku kenal… dunia yg hanya ada aku, istri dan anak-anakku… Bagaimana tidak, istri yg baik, anak-anak yg lucu-lucu! Maafkan aku Ibu… Maafkan aku anakmu… aku merasa dunia hanya milik kami, aku tidak peduli dg keadaan orang yg penting bagiku… yg penting bagiku adalah keadaan mereka: anak-anak dan istriku…

Ibu…

Maafkan aku, anakmu… Ampunkan aku, anakmu… Aku telah lalai… aku telah alpa… aku telah lupa… aku telah menyia-nyiakanmu…

Aku pernah mendengar kajian, bahwa orang tua difitrahkan untuk cinta kepada anaknya, akan tetapi anak difitrahkan untuk menyia-nyiakan orang tuanya… Oleh sebab itu, dilarang mencintai anak secara berlebihan, sebagaimana anak dilarang berbuat durhaka kepada orang tuanya… Itulah yg terjadi pada diriku, wahai Ibu!!

Aku pasti akan gila ketika melihat anakku sakit… Aku seperti orang kebingungan ketika melihat anakku diare… Tapi itu sulit, aku rasakan jika hal itu terjadi padamu wahai ibu… Itu sulit aku rasakan, jika seandainya hal itu terjadi pada ibu, dan pada ayah…

Ibu…

Sulit aku merasakan perasaanmu…

Kalaulah bukan karena bimbingan agama yg telah engkau talqinkan kepadaku, tentu aku telah seperti kebanyakan anak-anak yg durhaka kepada orang tuanya!!

Kalaulah bukan karena baktimu pula kepada orang tuamu dan orang tua ayahmu, niscaya aku tidak akan pernah mengenal arti bakti kepada orang tua.

Setelah suratmu datang, baru aku mengerti… Karena selama ini hal itu tidak pernah engkau ungkapkan, semuanya engkau simpan dalam-dalam seperti semua permasalahan berat, yg engkau hadapi selama ini.

Sekarang baru aku mengerti, wahai ibu… bahwa hari yg sulit bagi seorang ibu, adalah hari di mana anak laki-lakinya telah menikah dg seorang wanita… wanita yg telah mendapat keberuntungan…

Bagaimana tidak… Dia dapatkan seorang laki-laki yg telah matang pribadinya dan matang ekonominya, dari seorang ibu yg telah letih membesarkannya… Dari hidup ibu itulah ia dapatkan kematangan jiwa, dan dari uang ibu itu pulalah ia dapatkan kematangan ekonomi… Sekarang, -dg ikhlas- ia berikan kepada seorang wanita yg tidak ada hubungan denganya, kecuali hubungan dua wanita yg saling berebut perhatian seorang laik-laki… Dia sebagai anak dari ibunya dan dia sebagai suami dari istrinya.

Ibuku sayang…

Maafkan aku… Ampunkan diriku… Satu tetesan air matamu adalah lautan api neraka bagiku… Janganlah engkau menangis lagi, janganlah engkau berduka lagi!… Karena duka dan tangismu menambah dalam jatuhku ke dalam api neraka!! Aku takut Ibu…

Kalau itu pula yg akan kuperoleh… kalau neraka pula yg akan aku dapatkan… ijinkan aku membuang semua kebahagiaanku selama ini, hanya demi untuk dapat menyeka air matamu…

Kalau engkau masih akan murka kepadaku, izinkan aku datang kepadamu membawa segala yg aku miliki lalu menyerahkannya kepadamu, lalu terserah engkau… terserah engkau, mau engkau buat apa…

Sungguh ibu, dari hati aku katakan, aku tidak mau masuk neraka, sekalipun aku memiliki kekuasaan Firaun… kekayaan Karun… dan keahlian Haman… Niscaya aku tidak akan tukar dg kesengsaraan di akhirat sekalipun sesaat… Siapa pula yg tahan dg azab neraka, wahai Bunda… maafkan aku anakmu, wahai ibu!!

Adapun sebutanmu tentang keluhan dan pengaduan kepada Allah ta’ala, bahwa engkau belum mau mengangkatnya ke langit… bahwa engkau belum mau berdoa kepada Alloh akan kedurhakaanku… Maka, ampun, wahai Ibu!!

Kalaulah itu yg terjadi… dan do’a itu tersampaikan ke langit! Salah pula ucapan lisanmu!! Apalah jadinya nanti diriku… Apalah jadinya nanti diriku… Tentu aku akan menjadi tunggul yg tumbang disambar petir… apalah gunanya kemegahan, sekiranya engkau do’akan atasku kebinasaan, tentu aku akan menjadi pohon yg tidak berakar ke bumi dan dahannya tidak bisa sampai ke langit, di tengahnya dimakan kumbang pula…

Kalaulah do’amu terucap atasku, wahai bunda… maka, tidak ada lagi gunanya hidup… tidak ada lagi gunanya kekayaan, tidak ada lagi gunanya banyak pergaulan…

Ibu dalam sepanjang sejarah anak manusia yg kubaca, tidak ada yg bahagia setelah kena kutuk orang tuanya. Itu di dunia, maka aku tidak dapat bayangkan bagaimana nasibnya di akherat, tentu ia lebih sengsara…

Ibu…

Setelah membaca suratmu, baru aku menyadari kekhilafan, kealfaan dan kelalaianku.

Ibu… Suratmu akan kujadikan “jimat” dalam hidupku… setiap kali aku lalai dalam berkhidmat kepadamu akan aku baca ulang kembali… tiap kali aku lengah darimu akan kutalqinkan diriku dengannya… Akan kusimpan dalam lubuk hatiku, sebelum aku menyimpannya dalam kotak wasiatku… Akan aku sampaikan kepada anak keturunanku, bahwa ayah mereka dahulu pernah lalai di dalam berbakti, lalu ia sadar dan kembali kepada kebenaran… ayah mereka pernah berbuat salah, sehingga ia telah menyakiti hati orang yg seharusnya ia cintai, lalu ia kembali kepada petunjuk.

Bunda…

Tua… engkau berbicara tentang tua, wahai bunda…?! siapa yg tidak mengalami ketuaan, wahai ibu!!

Burung elang yg terbang di angkasa, tidak pernah bermain kecuali di tempat yg tinggi… suatu saat nanti dia akan jatuh jua, dikejar, dan diperebutkan oleh burung-burung kecil.

Singa, si raja hutan yg selalu memangsa, jika telah tiba tua, dia akan dikejar-kejar oleh anjing kecil tanpa ada perlawanan… Tidak ada kekuasaan yg kekal, tidak ada kekayaan yg abadi, yg tersisa hanya amal baik atau amal buruk yg akan dipertanggungjawabkan.

Ibu…

Do’akan anakmu ini, agar menjadi anak yg berbakti kepadamu, di masa banyak anak yg durhaka kepada orang tuanya… Angkatlah ke langit munajatmu untukku, agar aku akan memperoleh kebahagiaan abadi di dunia dan di akherat.

Ibu…

sesampainya suratku ini, insya Allah tidak akan ada lagi air mata yg jatuh karena ulah anakmu… setelah ini tidak ada lagi kejauhan antaraku denganmu…

bahagiamu adalah bahagiaku… kesedihanmu adalah kesedihanku… senyumanmu adalah senyumanku… tangismu adalah tangisku…

Aku berjanji, untuk selalu berbakti kepadamu buat selamanya, dan aku berharap agar aku dapat membahagiakanmu selagi mataku masih bisa berkedip… maka bahagiakanlah dirimu… buanglah segala kesedihan, cobalah tersenyum… Ini kami… aku, istri, dan anak-anak sedang bersiap-siap untuk bersimpuh di hadapanmu, mencium tanganmu.

Salam hangat dari anakmu yg durhaka…

(Disadur dari kajian Ustadz Armen -rohimahulloh-)

sumber link: http://elilmu.blogspot.com

Thursday, May 24, 2012

Kutitip Surat Ini Untukmu


Assalamu’alaikum,
Segala puji Ibu panjatkan kehadirat Allah ta’ala yang telah memudahkan Ibu untuk beribadah kepada-Nya. Shalawat serta salam Ibu sampaikan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga dan para sahabatnya. Amin.
Wahai anakku,
Surat ini datang dari Ibumu yang selalu dirundung sengsara. Setelah berpikir panjang Ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena, sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri. Setiap kali menulis, setiap kali itu pula gores tulisan terhalang oleh tangis, dan setiap kali menitikkan air mata setiap itu pula hati terluka.
Wahai anakku!
Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak! Karenanya engkau pantas membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engkau remas kertas ini lalu engkau merobeknya, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati dan telah engkau robek pula perasaanku.

Wahai anakku..
25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun kebahagiaan dalam kehidupanku. Suatu ketika dokter datang menyampaikan kabar tentang kehamilanku dan semua ibu sangat mengetahui arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira dan bahagia dalam diri ini sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik dan emosi. Semenjak kabar gembira tersebut aku membawamu 9 bulan. Tidur, berdiri, makan dan bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi itu semua tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu.

Aku mengandungmu, wahai anakku! Pada kondisi lemah di atas lemah, bersamaan dengan itu aku begitu gembira tatkala merasakan melihat terjangan kakimu dan balikan badanmu di perutku. Aku merasa puas setiap aku menimbang diriku, karena semakin hari semakin bertambah berat perutku, berarti engkau sehat wal afiat dalam rahimku. Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah saat itu, ketika fajar pada malam itu, yang aku tidak dapat tidur dan memejamkan mataku barang sekejap pun. Aku merasakan sakit yang tidak tertahankan dan rasa takut yang tidak bisa dilukiskan.
Sakit itu terus berlanjut sehingga membuatku tidak dapat lagi menangis. Sebanyak itu pula aku melihat kematian menari-nari di pelupuk mataku, hingga tibalah waktunya engkau keluar ke dunia. Engkau pun lahir. Tangisku bercampur dengan tangismu, air mata kebahagiaan. Dengan semua itu, sirna semua keletihan dan kesedihan, hilang semua sakit dan penderitaan, bahkan kasihku padamu semakin bertambah dengan bertambah kuatnya sakit. Aku raih dirimu sebelum aku meraih minuman, aku peluk cium dirimu sebelum meneguk satu tetes air ke kerongkonganku.
Wahai anakku..
Telah berlalu tahun dari usiamu, aku membawamu dengan hatiku dan memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Saripati hidupku kuberikan kepadamu. Aku tidak tidur demi tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu. Harapanku pada setiap harinya, agar aku melihat senyumanmu. Kebahagiaanku setiap saat adalah celotehmu dalam meminta sesuatu, agar aku berbuat sesuatu untukmu, itulah kebahagiaanku! Kemudian, berlalulah waktu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Selama itu pula aku setia menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai, menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti, dan menjadi pekerjamu yang tidak pernah mengenal lelah serta mendo’akan selalu kebaikan dan taufiq untukmu.

Aku selalu memperhatikan dirimu hari demi hari hingga engkau menjadi dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang tipis yang telah menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu. Tatkala itu aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan demi mencari pasangan hidupmu. Semakin dekat hari perkawinanmu, semakin dekat pula hari kepergianmu. saat itu pula hatiku mulai serasa teriris-iris, air mataku mengalir, entah apa rasanya hati ini. Bahagia telah bercampur dengan duka, tangis telah bercampur pula dengan tawa. Bahagia karena engkau mendapatkan pasangan dan sedih karena engkau pelipur hatiku akan berpisah denganku.
Waktu berlalu seakan-akan aku menyeretnya dengan berat. Kiranya setelah perkawinan itu aku tidak lagi mengenal dirimu, senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dan kesedihan, sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yang selama ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam seperti batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening, dengan dedaunan yang berguguran. Aku benar-benar tidak mengenalmu lagi karena engkau telah melupakanku dan melupakan hakku.
Terasa lama hari-hari yang kulewati hanya untuk ingin melihat rupamu. Detik demi detik kuhitung demi mendengarkan suaramu. Akan tetapi penantian kurasakan sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk melihat dan menanti kedatanganmu. Setiap kali berderit pintu aku manyangka bahwa engkaulah orang yang datang itu. Setiap kali telepon berdering aku merasa bahwa engkaulah yang menelepon. Setiap suara kendaraan yang lewat aku merasa bahwa engkaulah yang datang. Akan tetapi, semua itu tidak ada. Penantianku sia-sia dan harapanku hancur berkeping, yang ada hanya keputusasaan. Yang tersisa hanyalah kesedihan dari semua keletihan yang selama ini kurasakan. Sambil menangisi diri dan nasib yang memang telah ditakdirkan oleh-Nya.
Anakku..
Ibumu ini tidaklah meminta banyak, dan tidaklah menagih kepadamu yang bukan-bukan. Yang Ibu pinta, jadikan ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu. Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu di rumahmu, agar bisa juga aku menatap wajahmu, agar Ibu teringat pula dengan hari-hari bahagia masa kecilmu.

Dan Ibu memohon kepadamu, Nak! Janganlah engkau memasang jerat permusuhan denganku, jangan engkau buang wajahmu ketika Ibu hendak memandang wajahmu!! Yang Ibu tagih kepadamu, jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempat persinggahanmu, agar engkau dapat sekali-kali singgah ke sana sekalipun hanya satu detik. Jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi, atau sekiranya terpaksa engkau datangi sambil engkau tutup hidungmu dan engkaupun berlalu pergi.
Anakku, telah bungkuk pula punggungku. Bergemetar tanganku, karena badanku telah dimakan oleh usia dan digerogoti oleh penyakit. Berdiri seharusnya dipapah, dudukpun seharusnya dibopong, sekalipun begitu cintaku kepadamu masih seperti dulu. Masih seperti lautan yang tidak pernah kering. Masih seperti angin yang tidak pernah berhenti.
Sekiranya engakau dimuliakan satu hari saja oleh seseorang, niscaya engkau akan balas kebaikannya dengan kebaikan setimpal. Sedangkan kepada ibumu. Mana balas budimu, nak!? Mana balasan baikmu! Bukankah air susu seharusnya dibalas dengan air susu serupa?! Akan tetapi kenapa nak! Susu yang Ibu berikan engkau balas dengan tuba. Bukankah Allah ta’ala telah berfirman, “Bukankah balasan kebaikan kecuali dengan kebaikan pula?!” (QS. Ar Rahman: 60) Sampai begitu keraskah hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu?! Setelah berlalunya hari dan berselangnya waktu?!
Wahai anakku, setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia dengan hidupmu, setiap itu pula bertambah kebahagiaanku. Bagaimana tidak, engkau adalah buah dari kedua tanganku, engkaulah hasil dari keletihanku. Engkaulah laba dari semua usahaku! Kiranya dosa apa yang telah kuperbuat sehingga engkau jadikan diriku musuh bebuyutanmu? Pernahkah aku berbuat khilaf dalam salah satu waktu selama bergaul denganmu, atau pernahkah aku berbuat lalai dalam melayanimu?
Terus, jika tidak demikian, sulitkah bagimu menjadikan statusku sebagai budak dan pembantu yang paling hina dari sekian banyak pembantumu. Semua mereka telah mendapatkan upahnya!? Mana upah yang layak untukku wahai anakku!
Dapatkah engkau berikan sedikit perlindungan kepadaku di bawah naungan kebesaranmu? Dapatkah engkau menganugerahkan sedikit kasih sayangmu demi mengobati derita orang tua yang malang ini? Sedangkan Allah ta’ala mencintai orang yang berbuat baik.
Wahai anakku!! Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku tidak menginginkan yang lain. Wahai anakku! Hatiku teriris, air mataku mengalir, sedangkan engkau sehat wal afiat. Orang-orang sering mengatakan bahwa engkau seorang laki-laki supel, dermawan, dan berbudi.
Anakku..
Tidak tersentuhkah hatimu terhadap seorang wanita tua yang lemah, tidak terenyuhkah jiwamu melihat orang tua yang telah renta ini, ia binasa dimakan oleh rindu, berselimutkan kesedihan dan berpakaian kedukaan!? Bukan karena apa-apa?! Akan tetapi hanya karena engkau telah berhasil mengalirkan air matanya. Hanya karena engkau telah membalasnya dengan luka di hatinya, hanya karena engkau telah pandai menikam dirinya dengan belati durhakamu tepat menghujam jantungnya, hanya karena engkau telah berhasil pula memutuskan tali silaturrahim? !

Wahai anakku, ibumu inilah sebenarnya pintu surga bagimu. Maka titilah jembatan itu menujunya, lewatilah jalannya dengan senyuman yang manis, pemaafan dan balas budi yang baik. Semoga aku bertemu denganmu di sana dengan kasih sayang Allah ta’ala, sebagaimana dalam hadits: “Orang tua adalah pintu surga yang di tengah. Sekiranya engkau mau, maka sia-siakanlah pintu itu atau jagalah!!” (HR. Ahmad)
Anakku. Aku sangat mengenalmu, tahu sifat dan akhlakmu. Semenjak engkau telah beranjak dewasa saat itu pula tamak dan labamu kepada pahala dan surga begitu tinggi. Engkau selalu bercerita tentang keutamaan shalat berjamaah dan shaf pertama. Engkau selalu berniat untuk berinfak dan bersedekah. Akan tetapi, anakku! Mungkin ada satu hadits yang terlupakan olehmu! Satu keutamaan besar yang terlalaikan olehmu yaitu bahwa Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, amal apa yang paling mulia? Beliau bersabda: “Shalat pada waktunya”, aku berkata: “Kemudian apa, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Berbakti kepada kedua orang tua”, dan aku berkata: “Kemudian, wahai Rasulullah!” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah”, lalu beliau diam. Sekiranya aku bertanya lagi, niscaya beliau akan menjawabnya. (Muttafaqun ‘alaih)
Wahai anakku!! Ini aku, pahalamu, tanpa engkau bersusah payah untuk memerdekakan budak atau berletih dalam berinfak. Pernahkah engkau mendengar cerita seorang ayah yang telah meninggalkan keluarga dan anak-anaknya dan berangkat jauh dari negerinya untuk mencari tambang emas?! Setelah tiga puluh tahun dalam perantauan, kiranya yang ia bawa pulang hanya tangan hampa dan kegagalan. Dia telah gagal dalam usahanya. Setibanya di rumah, orang tersebut tidak lagi melihat gubuk reotnya, tetapi yang dilihatnya adalah sebuah perusahaan tambang emas yang besar. Berletih mencari emas di negeri orang kiranya, di sebelah gubuk reotnya orang mendirikan tambang emas.
Begitulah perumpamaanmu dengan kebaikan. Engkau berletih mencari pahala, engkau telah beramal banyak, tapi engkau telah lupa bahwa di dekatmu ada pahala yang maha besar. Di sampingmu ada orang yang dapat menghalangi atau mempercepat amalmu. Bukankah ridhoku adalah keridhoan Allah ta’ala, dan murkaku adalah kemurkaan-Nya?
Anakku, yang aku cemaskan terhadapmu, yang aku takutkan bahwa jangan-jangan engkaulah yang dimaksudkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya: “Merugilah seseorang, merugilah seseorang, merugilah seseorang”, dikatakan, “Siapa dia, wahai Rasulullah?, Rasulullah menjawab, “Orang yang mendapatkan kedua ayah ibunya ketika tua, dan tidak memasukkannya ke surga”. (HR. Muslim)
Anakku,
Aku tidak akan angkat keluhan ini ke langit dan aku tidak adukan duka ini kepada Allah, karena sekiranya keluhan ini telah membumbung menembus awan, melewati pintu-pintu langit, maka akan menimpamu kebinasaan dan kesengsaraan yang tidak ada obatnya dan tidak ada dokter yang dapat menyembuhkannya. Aku tidak akan melakukannya, Nak! Bagaimana aku akan melakukannya sedangkan engkau adalah jantung hatiku. Bagaimana ibumu ini kuat menengadahkan tangannya ke langit sedangkan engkau adalah pelipur laraku. Bagaimana Ibu tega melihatmu merana terkena do’a mustajab, padahal engkau bagiku adalah kebahagiaan hidupku.

Bangunlah Nak! Uban sudah mulai merambat di kepalamu. Akan berlalu masa hingga engkau akan menjadi tua pula, dan al jaza’ min jinsil amal, “Engkau akan memetik sesuai dengan apa yang engkau tanam” Aku tidak ingin engkau nantinya menulis surat yang sama kepada anak-anakmu, engkau tulis dengan air matamu sebagaimana aku menulisnya dengan air mata itu pula kepadamu.
Wahai anakku, bertaqwalah kepada Allah pada ibumu, peganglah kakinya!! Sesungguhnya surga di kakinya. Basuhlah air matanya, balurlah kesedihannya, kencangkan tulang ringkihnya, dan kokohkan badannya yang telah lapuk.Anakku, Setelah engkau membaca surat ini,terserah padamu! Apakah engkau sadar dan akan kembali atau engkau ingin merobeknya.
Wassalam,
Ibumu

.:: Abu Muhammad Armen Halim Jasman ::.

sumber: elilmu.wordpress.com

Wednesday, May 23, 2012

Sungguh dia telah bertaubat dengan satu taubat, seandainya taubatnya itu dibagikan kepada 70 orang dari penduduk Madinah, maka taubat itu akan mencukupinya.


Kisah Taubat Wanita Yang Telah Berzina Pada Zaman Rasululloh



Mari kita sama-sama merenungkan kisah ini, mdah-mudahan kita mendapatkan pelajaran yang baik insyaAlloh.
Imam Muslim dalam Shahihnya (9/69), dan juga para penulis kitab sunnah telah meriwayatkan sebuah kisah taubat yang paling mengagumkan yang diketahui oleh manusia. Pada suatu hari Rasul duduk di dalam masjid, sementara para sahabat beliau duduk mengitari beliau. Beliau mengajari, mendidik dan mensucikan (hati) mereka.
Majelis tersebut dipenuhi oleh sahabat besar Nabi. Tiba-tiba datanglah seorang wanita berhijab masuk ke pintu masjid. Kemudian Rasul pun diam, dan diam pula para sahabat beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Wanita tersebut menghadap dengan perlahan, dia berjalan dengan penuh gentar dan takut, dia lemparkan segenap penilaian dan pertimbangan manusia, dia lupakan aib dan keburukan, tidak takut kepada manusia, atau mata manusia dan apa yang akan dikatakan oleh manusia.
Dia menghadap untuk mencari kematian. Kematian lebih ringan, jika disertai oleh pengampunan dan penghapusan dosa. Menjadi ringan jika setelah kematian tersebut terdapat keridhaan dan penerimaan dari sisi Allah Ta’ala.
Hingga dia sampai kepada beliau Shalallahu ‘, kemudian dia berdiri di hadapan beliau, dan mengabarkan kepada beliau bahwa dia telah berzina!!
Dia berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah melakukan (maksiat yang mewajibkan adanya) hukuman had (atasku), maka sucikanlah aku!”

Apa yang diperbuat oleh Rasulullah Shalallhu ‘alaihi wa sallam?! Apakah beliau meminta persaksian dari para sahabat atas wanita tersebut? Tidak, bahkan memerahlah wajah beliau hingga hampir-hampir meneteskan darah. Kemudian beliau mengarahkan wajah beliau ke arah kanan, dan diam, seakan-akan beliau tidak mendengar sesuatu. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berusaha agar wanita ini mencabut perkataannya, akan tetapi wanita tersebut adalah wanita yang istimewa, wanita yang shalihah, wanita yang keimanannya telah menancap di dalam hatinya. Maka Nabi r bersabda kepadanya: “Pergilah, hingga engkau melahirkannya.”
Berlalulah bulan demi bulan, dia mengandung putranya selama 9 bulan, kemudian dia melahirkannya. Maka pada hari pertama nifasnya, diapun datang dengan membawa anaknya yang telah diselimuti kain dan berkata: “Wahai Rasulullah, sucikanlah aku dari dosa zina, inilah dia, aku telah melahirkannya, maka sucikanlah aku wahai Rasulullah!”
Maka Nabipun melihat kepada anak wanita tersebut, sementara hati beliau tercabik-cabik karena merasakan sakit dan sedih, dikarenakan beliau menghidupkan kasih sayang terhadap orang yang berbuat maksiat, rahmat kepada burung, dan menyayangi hewan.
Sebagian ahli ilmu berkata: “Bahkan beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam, memberikan rahmat hingga kepada orang kafir. Allah Ta’ala berfirman tentang beliau: “Dan tidakklah aku utus kamu Muhammad, kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta.” Siapa yang akan menyusui bayi tersebut jika ibunya mati? Siapakah yang akan mengurusi keperluannya jika had (hukuman) ditegakkan atas ibunya? Maka Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pulanglah, susuilah dia, maka jika engkau telah menyapihnya, kembalilah kepadaku.”

Maka wanita itupun pergi ke rumah keluarganya, dia susui anaknya, dan tidaklah bertambah keimanannya di dalam hatinya kecuali keteguhan, seperti teguhnya gunung.
Tahunpun bergulir berganti tahun. Kemudian wanita itu datang dengan membawa anaknya yang sedang memegang roti. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah menyapihnya, maka sucikanlah aku!”

Dia dan keadaannya sungguh sangat menakjubkan! Iman yang bagaimanakah yang membuatnya berbuat demikian. Tiga tahun lebih atau kurang, yang demikian tidaklah menambahnya kecuali kekuatan iman.
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengambil anaknya, seakan-akan beliau membelah hati wanita tersebut dari antara kedua lambungnya. Akan tetapi ini adalah perintah Allah, keadilan langit, kebenaran yang dengannya kehidupan akan tegak.
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang mengkafil (mengurusi) anak ini, maka dia adalah temanku di sorga seperti ini…” Kemudian beliau memerintahkan agar wanita tersebut dirajam (dilempari dengan batu hingga mati).
Maka manusiapun berkumpul, dan merajamnya. Muncratlah darah dari kepala wanita tersebut mengenai Khalid bin Walid, maka diapun mencacinya pada jarak pendengaran Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda kepadanya: “Tenang wahai Khalid, demi Allah, dia telah bertaubat dengan pertaubatan yang seandainya penarik pajak (pungli) bertaubat dengannya pastilah akan diterima darinya.”
Dalam sebuah riwayat bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar wanita itu dirajam, kemudian beliau menshalatinya. Maka berkatalah Umar Radhiyallahu ‘anhu: “Anda menshalatinya wahai Nabi Allah, sungguh dia telah berzina.” Maka beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh dia telah bertaubat dengan satu taubat, seandainya taubatnya itu dibagikan kepada 70 orang dari penduduk Madinah, maka taubat itu akan mencukupinya. Apakah engkau mendapati sebuah taubat yang lebih utama dari pengorbanan dirinya untuk Allah Ta’ala?” (HR. Ahmad (40/399))
Sesungguhnya ini adalah rasa takut kepada Allah. Sesungguhnya itu adalah perasaan takut yang terus menerus berada pada diri wanita mukminah tersebut saat dia terjerumus ke dalam jerat-jerat syetan, dia menjawab jerat-jerat tersebut pada saat lemah. Ya, dia telah berbuat dosa, akan tetapi dia berdiri dari dosanya dengan hati yang dipenuhi oleh iman, dan jiwa yang digerakkan oleh panasnya maksiat. Ya, dia telah berdosa, akan tetapi telah berdiri pada hatinya tempat pengagungan terhadap Dzat yang dia bermaksiat kepada-Nya. Sesungguhnya ini adalah taubat sejati wahai hamba-hamba Allah. Ya, ini taubat nashuha wahai hamba-hamba Allah.
Oleh: Zakiy Muhammad, dari Kitab Qishshah wa ‘Ibrah
sumber: elilmu.wordpress.com

Tuesday, May 15, 2012

Perbaiki Diri “Dengan meninggalkan kesomobngan dan berhias dengan muru’ah (menjaga kehormatan).”


Pada tahun 97 H, khalifah Muslimin Sulaiman bin Abdul Malik menempuh perjalanan ke negeri yang disucikan, memenuhi undangan bapak para Nabi, yakni Ibarhim ualaihis salam Iring-iringan itu bergerak dengan cepat dari Damaskus, ibukota kekhalifahan Umawiyah, menuju Madina al-Munawarah.

Ada rasa rindu pada diri khalifah di raudhah nabawi yang suci dan rindu untuk mengucapkan salam atas Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Rombongan tersebut disertai para ahli qurra’ (Ahli al-qur’an), muhadditsin (ahli hadits), fuqaha (ahli fiqih), ulama, umara dan para perwira.

Setibanya khalifah di Madinah dan menurunkan perbekalan, orang-orang dari para pemuka Madinah menghampiri mereka untuk mengucapkan salam dan menyambut kedatangan khalifah.

Akah tetapi Salamah bin Dinar sebagai qadhi dan imam kota yang terpercaya, ternyata tidak termasuk ke dalam rombongan manusia yang turut menyambut dan mengucapkan salam kepada Khalifah.

Setelah selesai melayani orang-orang yang menyambutnya, Sulaiman bin Abdul Malik berkata kepada orang-orang yang dekat dengannya, “Sesungguhnya hati itu bisa berkarat dari waktu ke waktu sebagaimana besi bila tidak ada yang mengingatkan dan membersihkan karatnya. Mereka berkata, “Benar, wahai amirul mukminin.” Lalu beliau berkata, “Tidak adakah di Madina ini seseorang yang bisa menasihati kita, seseorang yang pernah berjumpa dengan para sahabat Rasulullah?” Mereka menjawab, “Ada wahai amirul mukminin, di sini ada Abu Hazim al-A’raj.”

Beliau bertanya, “Siapa itu Abu Hazim?” Mereka menjawab, “Dialah Salamah bin Dinar, seorang alim, cendekia dan imam di kota Madinah. Beliau termasuk saslah satu tabi’in yang pernah bersahabat baik dengan beberapa sahabat utama.” Khalifah berkata, “Kalau begitu panggilah beliau kemari, namun berlakulah sopan kepada beliau.”

Para pembantu khalifah pun pergi memanggil Sulaiman bin Dinar.

Setelah Abu Hazim datang, khalifah menyambut dan membawanya ke tempat pertemuannya.

Khalifah: “Mengapa anda demikian angkuhnya terhadapku, wahai Abu Hazim.”

Abu Hazim: “Angkuh yang bagaimana yang anda maksud dan anda lihat dari saya wahai Amirul Mukminin?”

Khalifah: “Semua tokoh Madinah datang menyambutku, sedang anda tidak menampakkan diri sama sekali.”

Abu Hazim: “Dikatakan angkuh itu adalah setelah perkenalan, sedangkan anda belum mengenal saya dan sayapun belum pernah melihat anda. Maka keangkuhan mana yang telah saya lakukan?”

Khlaifah: “Benar alasan syaikh dan khalifah telah salah berprasangka. Dalam benakku banyak masalah yang ingin aku utarakan kepada anda wahai Abu Hazim.”

Abu Hazim: “Katakanlah wahai Amirul Mukminin, Allah tempat memohon pertolongan.”

Khalifah: “Wahai Abu Hazim mengapa kita membenci kematian?”

Abu Hazim: “Karena kita memakmurkan dunia kita dan menghancurkan akhirat kita. Akhirnya kita benci keluar dari kemakmuran menuju kehancuran.”

Khalifah; “Anda benar wahai Abu Hazim. Apa bagian kita di sisi Allah kelak?”

Abu Hazim: “Bandingkan amalan anda dengan kitabullah, niscaya anda bisa mengetahuinya.”

Khalifah: “Dalam ayat yang mana saya dapat menemukannya?”

Abu Hazim: “Anda bisa temukan dalam firman-Nya yang suci:

إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam syurga yang penuh keni'matan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (S Al-Infitar [82] : 13-14)

Khslifah: “Jika demikian, dimanakah letak rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala?”

Abu Hazim: (membaca firman Allah):

إِنَّ رَحْمَتَ اللّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ

“Sesungguhnya rahmat Allah itu amat dekat dengan mereka yang berbuat kebajikan.” (QS Al-A’raf [7]: 56)

Khalifah: “Lalu bagaimana kita menghadap Allah kelak, wahai Abu Hazim?”

Abu Hazim: “Orang-orang yang baik akan kembali kepada Allah seperti perantau yang kembali kepada keluarganya, sedangkan yang jahat akan datang seperti budak yang curang atau lari lalu diseret kepada majikannya yang keras.”

Khalifah menangis mendengarnya sampai keluar isaknya, kemudian berkata...
Khalifah: “Wahai Abu Hazim, bagaimana cara memperbaiki diri?”

Abu Hazim: “Dengan meninggalkan kesomobngan dan berhias dengan muru’ah (menjaga kehormatan).”

Khalifah: “Bagaimana memanfaatkan harta benda agar ada nilai takwa kepada Allah I?”

Abu Hazim: “Bila anda mengambilnya dengan cara yang benar dan meletakkannya di tempat yang benar pula lalu anda membaginya dengan merata dan berlaku adil terhadap rakyat.”

Khalifah: “Wahai Abu Hazim, jelaskan kepadaku siapakah manusia yang paling mulia itu?”

Abu Hazim: “Yaitu orang-orang yang menjaga muru’ah dan bertakwa.”

Khalifah: “Lalu perkataan apa yang paling besar manfaatnya?:”

Abu Hazim: “Perkataan benar, yang diucapkan di hadapan orang yang ditakuti dan diharapkan bantuannya.”

Khalifah: “Wahai Abu Hazim, doa manakah yang paling mustajab?”

Abu Hazim: “Doa orang-orang baik untuk orang-orang baik.”

Khalifah: “Sedekah manakah yang paling utama?”

Abu Hazim: “Sedekah dari orang yang kekurangan kepada orang yang membutuhkan tanpa menggerutu dan kata-kata yang menyakitkan.”

Khalifah: “Wahai Abu Hazim, siapakah orang yang paling dermawan dan terhormat?”

Abu Hazim: “Orang yang menemukan ketaatan kepada Allah I lalu diamalkan dan diajaarkan kepada orang lain.”

Khalifah: “Siapakah orang yang paling dungu?”

Abu Hazim: “Orang yang terpengaruh oleh hawa naafsu kawannya, padahal kawannya tersebut oran gyang dzalim. Maka pada hakikatnya dia menjual akhiratnya untuk kepentingan dunia yang lain.”

Khalifah: “Wahai Abu Hazim, maukah engkau mendampingi kami agar kami bisa mendapatkan sesuatu darimu dan anda mendapatkan sesuatu dari kami?”

Abu Hazim: “Tidak, wahai Amirul Mukminin.”

Khalifah: “Mengapa?”

Abu Hazim: “Saya khawatir kelak akan condong kepada anda sehingga Allah I menghukum saya dengan kesulitan di dunia dan siksa di akhirat.”

Khalifah: “Utarakanlah kebutuhan anda kepada kami wahai Abu Hazim.”

Abu Hazim tidak menjawab sehingga Khalifah mengulangi pertanyaannya: “Wahai Abu Hazim, utarakan hajat-hajatmu, kami akan memenuhi sepenuhnya..”

Abu Hazim: “Hajat saya adalah selamat dan masuk surga.”

Khalifah: “Itu bukan wewenang kami, wahai Abu Hazim.”

Abu Hazim: “Saya tidak memiliki keperluan selain itu wahai Amirul Mukminin.”

Khalifah: “Wahai Abu Hazim, berdoalah untukku.”

Abu Hazim: “Ya Allah bila hamba-Mu Sulaiman ini adalah orang yang Engkau cintai, maka mudahkanlah jalan kebaikan baginya di dunia dan di akhirat. Dan jika dia termasuk musuh-Mu,maka berilah dia hidayah kepada apa yang Engkau sukai dan Engkau ridhai. Amon.”

Salah satu hadirin berkata: “Alangkah buruknya perkataanmu tentang Amirul Mukminin. Engkau sebutkan khalifah muslimin barangkali termasuk musuh Allah I? Kamu telah menyakiti perasaannya.

Abu Hazim: “Justru perkataanmu itulah yang buruk. Ketahuilah bahwa Allah telah mengambil janji dari para ulama agar berkata jujur:

وَإِذَ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya,"” (QS Al-Imran [3] : 187)

Beliau menoleh kepada Khalifah seraya berkata: “Wahai Amirul Mukminin, umat-umat terdahulu tinggal dalam kebaikan dan kebahagiaan selama para pemimpinnya selalu mendatangi ulama untuk mencari kebenaran pada diri mereka. Kemudian muncullah kaum dari golongan rendah yang mempelajari berbagai ilmu mendatangi para amir untuk mendapatkan suatu kesenangan dunia. Selanjutnya para amir itu tidak lagi menghiraukan perkataan ulama, mereka pun menjadi lemah dan hina di mata Allah I. Seandainya segolongan ulama itu tidak tamak terhadap apa yang ada di sisi para amir, tentulah amir-amir tersebut akan mendatangi mereka untuk mencari ilmu. Tetapi karena para ulama menginginkan apa yang ada di sisi para amir, maka para amir tak mau lagi menghiraukan ucapannya.”

Khalifah: “Anda benar. Tambahkanlah nasihat untukku wahai Abu Hazim, aku benar-benar tidak mendapati hikmah yang lebih dekat dengan lisannya daripada anda.”

Abu Hazim: “Bila anda termasuk orang yang suka menerima nasihat, maka apa yang saya utarakan tadi cukuplah sebagai bekal. Tetapi bila tidak dar golongan itu, maka tidak perlu lah aku memanah dari busur yang tak ada talinya.”

Khalifah: “Wahai Abu Hazim, aku berharap anda mau berwasiat kepadaku.”

Abu Hazim: “Baiklah, akah saya katakan dengan ringkas. Agungkanlah Allah I dan jagalah jangan sampai Dia melihat anda dalam keadaan yang tidak disukai-Nya dan tetaplah anda berada di tempat yang diperintahkan-Nya.”

Setelah itu Abu Hazim mengucapkan salam dan mohon diri. Khalifah berkata, “Swmoga Allah membalas anda dengan kebaikan wahai seorang alim yang suka menasihati.”

Sumber: Suwaru min Hayaati at-Tabi’in (edisi Indonesia), Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, At-Tibyan, hal. 163-168)

khayla.net

“Lalu kepada siapa kalian beribadah?”


Abdul Wahid bin Zaid menceritakan kepada kami:

“Kami berada dalam sebuah perahu, lalu kami terlempar oleh angin hingga sampai di sebuah pulau. Kami mendapati seorang laki-laki yang menyembah berhala di pulau itu, maka kami berkata kepadanya::

“Kepada siapa kamu menyembah?” Dia menunjuk kepada sebuah berhala. Kemudian kami berkata:

“Sesungguhnya ada benda seperti itu dalam perahu kami. Benda itu bukanlah tuhan yang patut diibadahi.”

Laki-laki itu bertanya, “Lalu kepada siapa kalian beribadah?”

Kami berkata, “Allah.”

Dia berkata, “Siapa Allah itu?”

Kami berkata, “Dzat yang singgasana-Nya ada di langit. Dzat yang kekuasaan-Nya ada di bumi, dan Dzat yang kehidupan dan kematian adalah menjadi ketetapan-Nya.”

“Bagaimana kalian bisa mengetahui dan mengenalnya?”

“Dzat Yang Maharaja ini mengutus seorang Rasul kepada kami, lalu Rasul itu mengabarkan kami akan hal ini.”

“Lalu bagaimana keadaan Rasul itu?”

“Ketika beliau melaksanakan misinya, Allah mencabut nyawanya.”

“Apakah beliau meninggalkan satu tanda untuk kalian?”

“Ya, beliau meninggalkan kitab Yang Maha Menguasai.”

“Tunjukkanlah kitab itu kepadaku. Sudah sepatutnya bila kitab-kitab Yang Maha Menguasai adalah indah dan baik.”

Kami pun menyodorkan mushaf Al-Qur’an kepadanya, lalu dia berkata:

“Aku tidak tahu ini.”

Kemudian kami membacakan satu surat al-Qur’an untuknya. Kami terus membacanya dan dia menangis hingga kami selesai membaca satu sura itu. Lalu dia berkata:

“Tidak seharusnya pemiliki firman ini didurhakai.”

Setelah itu dia menyatakan diri masuk Islam. Lalu kami membawanya dan mengajarkan syariat-syariat Islam dan beberapa surat Al-Qur’an kepadanya. Ketika malam telah gelap, dan kami usai melaksanakan shalat Isya, kami bersiap-siap di pembaringan kami, lalu laki-lak itu bertanya:

“Wahai kaum, apakah Tuhan yang telah kalian tunjukkan kepadaku ini akan tidur ketika malam telah gelap?”

Kami menjawab, “Tidak, wahai hamba Allah. Dia Maha Agung, terus-menerus mengurus mahluk-Nya. Dia tidak pernah tidur.”

“Seburuk-buruk kaum adalah kalian. Kalian tidur, sedang Tuhan kalian tidak pernah tidur.”

Sungguh ucapannya membuat kami kagum!. Saat kami sampa di Ubadan, aku berkata kepada teman-temanku:

“Laki-laki ini baru mengenal Islam.” Kami pun mengumpulkan uang, lalu kami berikan uang itu kepadanya. Laki-laki itu kembali bertanya:

“Apa ini?”

“Kamu akan membelanjakan uang itu.”

“Laa ilaaha Illa Allah! Kalian telah menunjukkan jalan yang telah kalian tempuh kepadaku. Dahulu aku berada di sebuah pulau di tengah-tengah lautan dalam keadaan menyembah berhala. Dia tidak menyia-nyiakan aku sedang aku akan mengenali-Nya.”

Beberapa hari kemudian aku mendengar bahwa dia dalam keadaan menghadapi maut. Maka aku mendatangi dan bertanya kepadanya:

“Apakah ada sesuatu yang bisa aku lakukan untukmu?”

“Semua kebutuhanku telah ditunaikan oleh orang-orang kalian yang datang ke pulauku,” jawabnya.”

Abdul Wahid meneruskan ceritanya:

“Mataku terpejam, aku tertidur di sampingnya. Aku melihat pemakaman kota Ubadan menjadi kebun yang di dalamnya terdapt sebuah kubah. Di dalam kubah itu ada sebuah tempat tidur dan sseorang wanita yang kecantikannya tiada duanya. Dia berkata:

“Demi Allah, aku tidak memohon kepadamu melainkan engkau segerakan dia, sungguh rasa rinduku kepadanya telah membuncah.”

Lalu aku terbangun, aku mendapatinya telah meninggalkan dunia ini. Aku pun memandikan, mengkafani dan menguburkannya. Ketika malam telah larut, aku tidur dan melihatnya di kubah itu bersama seorang wanita cantik. Dia membaca ayat:

وَالمَلاَئِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِم مِّن كُلِّ بَابٍ سَلاَمٌ عَلَيْكُم بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ

“...sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu. sambil mengucapkan): "Salamun 'alaikum bima shabartum" . Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS Ar-Ra’d [13] : 23-24)

Sifat Ash-Sahfwah, IV/301 dalam Al-Huur al-‘Ain Manaamatu Shaalihiin (id), oleh Syaikh ‘Isham Hasanain.

(Disalin dari Shifat ash-Shafwah  Maktabah asy-Syamilah)